Info Burinyay
Opini

Situasi Ekonomi dan Keuangan NKRI: Sebuah Tinjauan Kritis

Rohidin, SH., MH., M.Si.,  Sultan Patrakusumah VIIl Trust Of guarantee phoenix ina 18

Tasikmalaya, Info Burinyay – Dalam dinamika perekonomian nasional, pengumuman terbaru dari Bank Indonesia (BI) mengenai tiga jenis mata uang Rupiah, yaitu uang kertas, uang elektronik, dan uang digital, memunculkan berbagai pertanyaan krusial. Secara objektif, langkah ini dapat dipandang sebagai upaya modernisasi dan penyesuaian dengan perkembangan teknologi keuangan global. Namun, dari perspektif subjektif, kita perlu mempertimbangkan apakah kebijakan ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Tujuan dan Legalitas Tiga Mata Uang Rupiah

Baca Juga
Pajak 12% vs Rakyat Kecil: Apakah Ini Akhir dari Keadilan Ekonomi?

Penggunaan tiga jenis mata uang ini bertujuan untuk memberikan fleksibilitas dalam transaksi, meningkatkan inklusi keuangan, dan mendorong efisiensi ekonomi. Namun, penting untuk mengkaji status hukum dan lisensi dari masing-masing mata uang tersebut. Kita harus memastikan bahwa implementasi ini tidak merusak tatanan hukum dan sistem kedaulatan negara. Sebab, ancaman terbesar bukan hanya datang dari individu pembuat kebijakan, tetapi dari potensi terganggunya keutuhan bangsa dan negara.

Dalam konteks ini, Indonesia harus berhati-hati agar tidak dituding sebagai negara ilegal yang menghalalkan segala cara atas nama kekuasaan. Pengalaman menunjukkan bahwa organisasi internasional seperti PBB seringkali tidak efektif dalam menyelesaikan konflik. Sebagai contoh, sejak tahun 1967 hingga kini, konflik antara Israel dan Palestina belum mencapai perdamaian, meskipun resolusi PBB telah dikeluarkan. Situasi ini menunjukkan bahwa kekuasaan adidaya sering kali memiliki pengaruh lebih besar daripada resolusi internasional.

Jika kita menilik kembali sejarah, diplomasi sering kali diwarnai dengan intrik dan kekerasan. Sebagai contoh, pembunuhan Pangeran Astro-Hungaria di Serbia yang memicu Perang Dunia I, di mana negara tersebut akhirnya terpecah menjadi Austria dan Hungaria. Kondisi serupa bisa dilihat di Timur Tengah, di mana belum ada kesepakatan kolektif, dan negara-negara seperti Yordania dan Arab Saudi enggan melihat keruntuhan tahtanya. Konflik antara Saudi dan Iran, di mana Iran mendukung Yaman (Houthi) untuk menyerang Saudi, menunjukkan betapa rumitnya dinamika geopolitik di kawasan tersebut.

Kondisi Keuangan Indonesia

Baca Juga
Modal Bank dan Regulasi Perbankan: Pilar Penting Stabilitas Ekonomi

Kembali ke tanah air, kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan saat ini perlu dipertanyakan, terutama mengenai siapa yang sebenarnya diuntungkan. Lisensi yang dulunya ada kini seakan kosong, sementara pajak dikenakan di segala lini. Sistem keuangan dan kapital domestik pun diubah, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tidak lagi menjadi acuan, menghilangkan sistem check and balance yang dulu ada.

Untuk melanjutkan ideologi ekonomi, diperlukan investasi besar-besaran dalam sumber daya manusia sebagai bentuk survival ekonomi. Tanpa rakyat, tidak akan ada negara, dan tanpa negara, pemerintah tidak bisa berfungsi. Demokrasi rakyat dapat diwujudkan melalui dua cara: demokrasi langsung atau demokrasi tidak langsung. Presiden yang akan datang harus mampu membenahi mismanajemen yang terjadi dalam 10 tahun terakhir.

Sebagai penutup, kita harus mempertimbangkan kasus-kasus seperti 28 ribu kontainer impor ilegal dan Rp350 triliun yang berkaitan dengan Bea Cukai di bawah Menteri Keuangan. Bagaimana status hukum terkait kasus-kasus ini?

Semoga pemikiran ini dapat menjadi masukan yang berharga bagi semua ahli hukum dalam menyikapi persoalan bangsa dan negara.

Ditulis oleh: 

Sultan Patrakusumah VIII, Rohidin, SH., MH., M.Si

Related posts

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.