Rohidin, SH., MH., M.Si., Sultan Patrakusumah VIII Trust of Guarantee Phoenix Ina 18
Oleh: Rohidin, SH., MH., M.Si. Sultan Patrakusumah VIII Trust of Guarantee Phoenix Ina 18
Tasikmalaya, Info Burinyay – Nikolai II, Tsar terakhir Kekaisaran Rusia, lahir pada 18 Mei 1868 di Alexander Palace, Saint Petersburg. Ia memimpin di tengah situasi yang semakin kompleks dan penuh tantangan. Dukungan Nikolai terhadap diplomasi damai di Eropa bertolak belakang dengan realitas dalam negeri Rusia. Selama pemerintahannya, rakyat menghadapi peningkatan aksi teror dan kekacauan sosial. Di bawah tekanan, Nikolai terpaksa memberlakukan konstitusi, tetapi ia tetap membatasi kekuasaan Majelis Perwakilan.
Tekanan politik dan sosial akhirnya memuncak pada Revolusi Februari 1917, yang memaksa Nikolai untuk turun dari takhta. Setelah itu, ia dan keluarganya menjalani kehidupan di pengasingan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mereka akhirnya ditahan di Rumah Ipatiev di Yekaterinburg. Pada 17 Juli 1918, kelompok Bolshevik mengeksekusi Nikolai II bersama keluarganya di ruang bawah tanah. Tragedi ini mengakhiri kekuasaan dinasti Romanov dan membuka jalan bagi era baru di Rusia.
Sejarah menunjukkan bahwa diplomasi berperan penting dalam membangun perdamaian. Sejak 1991, Rusia dan Amerika Serikat secara konsisten mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) untuk membahas berbagai isu strategis, seperti pengendalian senjata dan stabilitas global. Dialog semacam ini menciptakan kerangka kerja yang mendukung penyelesaian konflik tanpa kekerasan.
Namun, mengapa Indonesia belum memanfaatkan potensi diplomasi tingkat tinggi seperti ini? Sebagai negara dengan posisi strategis di Asia Tenggara, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi jembatan bagi berbagai kepentingan global. Melalui pertemuan dengan negara-negara kuat, Indonesia dapat meningkatkan perannya dalam isu-isu seperti perdagangan, perubahan iklim, dan keamanan kawasan.
Pada masa Perang Dingin, istilah détente menjadi simbol pelonggaran hubungan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Strategi ini berhasil mengurangi ketegangan melalui dialog dan kesepakatan bilateral. Dalam bahasa Rusia, konsep ini disebut razryadka, yang berarti relaksasi atau pelepasan ketegangan.
Strategi ini memberikan pelajaran penting bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia. Ketika konfrontasi menjadi tidak efektif, dialog dapat membuka jalan menuju solusi yang saling menguntungkan. Pendekatan ini relevan dalam menyelesaikan tantangan-tantangan global yang dihadapi Indonesia, seperti konflik Laut China Selatan dan isu migrasi lintas negara.
Indonesia juga memiliki pengalaman krisis yang menawarkan pelajaran berharga. Krisis ekonomi Asia pada 1997-1998 mengguncang tatanan ekonomi dan politik Indonesia. Saat itu, pelarian modal asing dan penurunan nilai rupiah menghancurkan perekonomian nasional. Krisis ini berdampak langsung pada masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan daya beli.
Meskipun Presiden Soeharto terpilih kembali pada Maret 1998, dukungan politik dan militer untuk kepemimpinannya mulai runtuh. Kerusuhan sosial yang meluas akhirnya memaksanya mengundurkan diri pada Mei 1998. Pengunduran diri ini menandai berakhirnya Orde Baru dan dimulainya era Reformasi di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie.
Pengalaman Indonesia pada masa itu menggarisbawahi pentingnya fleksibilitas dalam menghadapi perubahan. Pemerintah harus cepat beradaptasi dengan tuntutan rakyat dan perubahan global. Jika tidak, krisis dapat menjadi katalisator bagi pergantian kekuasaan yang tidak terencana.
Kisah Nikolai II, strategi détente, dan pengalaman Reformasi di Indonesia menunjukkan betapa pentingnya diplomasi dan kemampuan beradaptasi. Bagi Indonesia, kedua aspek ini harus menjadi prioritas dalam menghadapi tantangan abad ke-21.
Pertama, Indonesia harus mengambil langkah aktif dalam diplomasi internasional. Inisiatif untuk mengadakan pertemuan tingkat tinggi dengan negara-negara besar dapat memperkuat posisi Indonesia di kancah global. Dialog seperti ini juga dapat menjadi platform untuk menyuarakan isu-isu penting bagi kawasan Asia Tenggara.
Kedua, Indonesia harus melanjutkan reformasi internal yang memastikan pembangunan berkelanjutan. Pelajaran dari krisis 1998 menunjukkan bahwa stabilitas ekonomi tidak cukup jika tidak diiringi dengan keadilan sosial. Pemerintah perlu mendengarkan aspirasi rakyat dan membuat kebijakan yang inklusif.
Sejarah sering kali memberikan pelajaran berharga bagi masa depan. Kisah Nikolai II mengingatkan kita tentang bahaya ketidakmampuan beradaptasi dengan perubahan zaman. Di sisi lain, strategi détente menunjukkan bahwa dialog dapat menjadi jalan keluar dari konflik yang tampak tidak terselesaikan.
Pengalaman Indonesia selama krisis 1998 juga menawarkan panduan penting tentang pentingnya reformasi dalam menghadapi tantangan domestik dan global. Dengan mengambil inspirasi dari berbagai peristiwa sejarah ini, Indonesia dapat memainkan peran yang lebih besar di tingkat internasional sambil memastikan kestabilan di dalam negeri.
Hanya dengan mengedepankan diplomasi yang efektif dan reformasi yang inklusif, Indonesia dapat menghadapi tantangan abad ini dengan lebih percaya diri. Langkah ini tidak hanya memperkuat posisi Indonesia, tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi perdamaian dan kemakmuran dunia.
Rancabali, Info Burinyay - Liburan panjang kembali menghidupkan sektor pariwisata di wilayah Bandung Selatan. Para…
Ciparay, Info Burinyay – Sebanyak 33 anak mengikuti tasyakuran khitanan massal di Pondok Pesantren Al…
Ciwidey, Info Burinyay — Pemerintah Desa Panyocokan, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, terus meningkatkan pembangunan infrastruktur…
Bandung, Info Burinyay — Para Guru Bimbingan Konseling (BK) dari berbagai SMA di Kota Bandung…
Oleh: Sultan Patrakusumah VIII Trust of Guarantee Phoenix INA-18 Tasikmalaya - Dalam beberapa bulan terakhir,…
Rancaekek, Info Burinyay – Jajaran Polsek Rancaekek mengambil langkah tegas untuk meningkatkan disiplin dan keamanan…
This website uses cookies.
Leave a Comment