Opini

Tatakelola Administrasi Negara dalam Kebudayaan Sunda Parahiangan: Menyelaraskan Astabrata, Tritangtu di Buana, dan Kearifan Lokal

Oleh: Hj. Dea Mardiyanti, SH., M.H., CR., BC.

Pendahuluan

Masyarakat Sunda Parahiangan, yang mendiami wilayah Priangan (Jawa Barat), memiliki sistem nilai dan filosofi kepemimpinan yang tertanam dalam kearifan lokal sejak zaman kerajaan Sunda kuno seperti Galuh, Pajajaran, dan Salakanagara. Konsep tatakelola administrasi negara dalam budaya Sunda tidak hanya berfokus pada hierarki kekuasaan, tetapi juga pada keselarasan dengan alam, keseimbangan spiritual, dan prinsip kolektivitas. Filosofi ini tercermin dalam konsep Astabrata (delapan sifat pemimpin berbasis alam), Tritangtu di Buana (tiga pilar pemerintahan), serta ungkapan siloka (peribahasa) dan kirata (metafora) yang menjadi pedoman etis bagi pemimpin.

Artikel ini bertujuan mengurai secara mendalam bagaimana nilai-nilai tersebut dapat menjadi acuan dalam membangun sistem administrasi negara yang adil, partisipatif, dan berkelanjutan. Melalui perspektif Hj. Dea Mardiyanti—akademisi dan praktisi hukum adat Sunda—kita akan mengeksplorasi relevansi kearifan lokal ini dalam konteks modern.

1. Astabrata: Delapan Sifat Pemimpin yang Menyelaraskan Diri dengan Alam

Astabrata berasal dari kata asta (delapan) dan brata (sifat/laku). Konsep ini mengajarkan bahwa pemimpin ideal harus meneladani karakter delapan elemen alam, yang melambangkan keseimbangan antara kekuatan, kelembutan, dan kebijaksanaan.

1.1 Bumi (Lemah): Kesabaran dan Keteguhan

Bumi menjadi simbol keteguhan dan kesabaran. Seperti bumi yang menopang kehidupan tanpa pamrih, pemimpin harus menjadi fondasi yang stabil bagi rakyatnya. Ia wajib adil dalam membagi sumber daya, tidak memihak, dan mengutamakan kepentingan umum.

  • Contoh Penerapan: Kebijakan redistribusi lahan untuk petani miskin, seperti yang dilakukan Prabu Siliwangi dalam mengelola wilayah Pakuan Pajajaran.
  • Kritik Modern: Pemimpin modern sering lalai mendengarkan suara akar rumput, padahal kesabaran dalam merancang kebijakan inklusif adalah kunci stabilitas.

1.2 Gunung (Pasir): Kewibawaan dan Perlindungan

Gunung melambangkan kewibawaan dan perlindungan. Pemimpin harus seperti gunung yang menjulang tinggi, menjadi panutan, dan melindungi rakyat dari ancaman.

  • Kisah Inspiratif: Dalam Pantun Bogor, Prabu Tapa Agung dikenal sebagai pemimpin yang membangun benteng pertahanan untuk melindungi rakyat dari serangan musuh.
  • Relevansi Kini: Pemimpin perlu tegas menghadapi korupsi, radikalisme, atau ketimpangan sosial sebagai bentuk “perlindungan” terhadap hak rakyat.

1.3 Laut (Samudra): Kedalaman Ilmu dan Kerendahan Hati

Laut yang dalam melambangkan pemimpin yang berilmu luas namun rendah hati. Ia harus mampu menampung aspirasi rakyat, seperti laut yang menerima semua aliran sungai.

  • Filosofi Sunda: Ungkapan “Cai herang laukna hese” (air jernih ikannya sulit ditangkap) mengajarkan bahwa pemimpin yang bijak tidak mudah terbaca, tetapi transparan dalam tindakan.
  • Aplikasi: Pentingnya riset dan data dalam pengambilan kebijakan, serta kesediaan menerima kritik.

1.4 Api (Seuneu): Semangat dan Ketegasan

Api melambangkan semangat yang membara dan ketegasan. Pemimpin harus berani mengambil keputusan sulit untuk kebaikan bersama, seperti memberantas praktik korupsi atau reformasi birokrasi.

  • Contoh Historis: Kisah Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga (Jawa Tengah) yang menghukum mati putranya sendiri karena mencuri, mencerminkan ketegasan tanpa kompromi.

1.5 Matahari (Panonpoé): Penerang dan Inspirator

Matahari adalah sumber kehidupan yang menerangi kegelapan. Pemimpin harus menjadi pencerah yang transparan, memberikan edukasi, dan menginspirasi inovasi.

  • Penerapan: Program “Sunda Membaca” yang digagas pemerintah daerah untuk meningkatkan literasi, atau penggunaan teknologi dalam pelayanan publik.

1.6 Bulan (Sasih): Kelembutan dan Empati

Bulan melambangkan kelembutan dan empati. Pemimpin harus peka terhadap penderitaan rakyat, seperti bulan yang menyinari malam dengan cahaya redup namun menenangkan.

  • Kearifan Lokal: Tradisi “Silih Asih, Silih Asuh, Silih Asah” (saling mengasihi, merawat, dan mendidik) menjadi dasar kebijakan inklusif bagi kelompok rentan.

1.7 Air (Cai): Fleksibilitas dan Adaptasi

Air mengalir luwes mengikuti medan, tetapi memiliki kekuatan menghancurkan batu. Pemimpin harus fleksibel dalam menghadapi perubahan zaman, namun tetap berpegang pada prinsip kebenaran.

  • Studi Kasus: Kebijakan adaptasi perubahan iklim di Jawa Barat dengan memadukan teknologi modern dan kearifan lokal “huma” (sistem pertanian tradisional).

1.8 Angin (Bayu): Komunikasi dan Keterbukaan

Angin menyebar ke segala penjuru, membawa pesan. Pemimpin harus komunikatif, transparan, dan membuka ruang dialog dengan rakyat.

  • Implementasi: Forum “Mujaer” (Musyawarah Rakyat Elektronik) yang diinisiasi pemerintah daerah untuk menerima masukan publik secara digital.

2. Tritangtu di Buana: Trilogi Kekuasaan yang Menjaga Keseimbangan

Konsep Tritangtu di Buana (tiga penjaga dunia) merupakan sistem pemerintahan yang menekankan kolaborasi tiga entitas: Karatuan (pemimpin politik), Kaprabuan (tetua/adat), dan Karesian (cendekiawan/spiritual). Berikut analisis mendalam ketiga pilar tersebut:

2.1 Karatuan (Prebu/Raja): Pemegang Kekuasaan Politik

  • Tugas Utama:
  1. Menjaga stabilitas negara melalui hukum yang adil (“Darma”).
  2. Mengelola sumber daya alam dan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat.
  3. Memimpin diplomasi dengan kerajaan lain.
  • Contoh Historis: Prabu Siliwangi dikenal sebagai raja yang menjalin hubungan damai dengan Demak dan Cirebon, menjaga kedaulatan tanpa konflik.
  • Relevansi Modern: Presiden atau gubernur sebagai “Prebu modern” harus mengedepankan dialog antarwilayah dan transparansi anggaran.

2.2 Kaprabuan (Rama/Tetua): Penjaga Kebijaksanaan Adat

  • Peran:
  1. Memberi nasihat berdasarkan kearifan lokal dan pengalaman.
  2. Menjadi mediator dalam sengketa adat atau sosial.
  3. Memastikan kebijakan pemerintah selaras dengan nilai budaya.
  • Kisah Kearifan: Dalam sengketa tanah, tetua adat Sunda menggunakan prinsip “Gugur Gunung” (gotong royong) untuk mencapai kesepakatan tanpa pengadilan.
  • Aplikasi Kini: Dewan Adat atau LSM budaya dapat berperan sebagai “Rama” yang mengawasi kebijakan pembangunan agar tidak merusak situs budaya.

2.3 Karesian (Resi/Cendekiawan): Penjaga Ilmu dan Spiritualitas

  • Fungsi:
  1. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan spiritualitas.
  2. Mengkritik kebijakan yang bertentangan dengan moral dan ekologi.
  3. Menjadi guru bagi masyarakat dan pemimpin.
  • Figur Legendaris: Resi Wisnu dari kerajaan Sunda kuno yang menulis naskah tentang etika pemerintahan.
  • Modernisasi: Akademisi, ulama, dan aktivis lingkungan berperan sebagai “Resi” yang mengingatkan pemerintah tentang keberlanjutan ekologis.

Sinergi Tritangtu di Buana:
Ketiga pilar ini saling mengontrol dan melengkapi. Raja tidak bisa bertindak otoriter karena harus berkonsultasi dengan tetua dan resi. Sistem ini mencegah penyalahgunaan kekuasaan, mirip dengan prinsip checks and balances dalam demokrasi modern.

3. Bahasa Siloka: Metafora Kepemimpinan dalam Peribahasa Sunda

Bahasa siloka (peribahasa) Sunda mengandung ajaran moral yang dalam. Berikut penjabaran tiga siloka utama yang relevan dengan kepemimpinan:

3.1 “Jadi Pamimpin Ulah Cacag Nangkaeun, Dina Nangtuken Aturan”

(Jangan terburu-buru menetapkan aturan)

  • Makna: Kebijakan harus dirancang matang, melibatkan partisipasi publik, dan mempertimbangkan dampak jangka panjang.
  • Studi Kasus: UU Cipta Kerja yang menuai protes karena dianggap terburu-buru dan tidak melibatkan konsultasi publik.

3.2 “Pamimpin Dinasatiap Menang Beja Kudu Asak Jejehan…”

(Pemimpin harus waspada terhadap pengaruh negatif)

  • Interpretasi: Pemimpin harus memiliki bobot (substansi), pangayon (kelembutan), dan timbang taraju (keadilan).
  • Contoh: Kasus korupsi dana COVID-19 menunjukkan betapa pemimpin mudah tergoda oleh “kabobodo” (kebodohan) dan “kasamaran” (keserakahan).

3.3 “Ulah Neangan Bener Komo Neangan Salah…”

(Pemimpin harus mencari solusi, bukan sekadar benar-salah)

  • Filosofi: Kepemimpinan bukan pertarungan ego, tetapi upaya menciptakan maslahat (kebaikan bersama).
  • Praktik Baik: Mediasi konflik agraria dengan prinsip “win-win solution” alih-alih menggunakan kekerasan.

4. Kirata: Kepemimpinan Rasional dan Visioner

Kirata mengajarkan: “Pamimpin Kudu Bisa Nganjang Kapageto, Ulah Nangtuken Aturan Kira-Kira”
(Pemimpin harus mampu memprediksi dampak kebijakan, bukan asal menetapkan aturan).
Prinsip ini menekankan:

  1. Kajian Empiris: Setiap kebijakan harus melalui riset mendalam (dikaji, ditaliti).
  2. Partisipasi Publik: Melibatkan masyarakat dalam perumusan regulasi (dihayati).
  3. Keberlanjutan: Mempertimbangkan dampak ekologis dan sosial jangka panjang (balukarna).

Contoh Penerapan:

  • Kebijakan pengelolaan Sungai Citarum harus melibatkan ahli ekologi, masyarakat lokal, dan mempelajari dampak historis seperti banjir Bandang 1986.

5. Tantangan dan Peluang dalam Menerapkan Nilai Sunda di Era Modern

5.1 Tantangan:

  • Globalisasi: Nilai individualisme mengikis prinsip kegotongroyongan.
  • Korupsi: Penyalahgunaan kekuasaan bertentangan dengan Astabrata.
  • Degradasi Lingkungan: Eksploitasi SDA melanggar prinsip “gunung” dan “cai”.

5.2 Solusi:

  • Pendidikan Multikultural: Mengintegrasikan kearifan Sunda dalam kurikulum sekolah.
  • Reformasi Birokrasi: Menciptakan sistem meritokrasi yang selaras dengan Tritangtu di Buana.
  • Teknologi dan Kearifan Lokal: Memadukan IoT (Internet of Things) dengan sistem pertanian tradisional “huma”.

Penutup: Merajut Kembali Jati Diri Kepemimpinan Sunda

Nilai-nilai Astabrata, Tritangtu di Buana, serta siloka dan kirata bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi panduan hidup yang relevan untuk menjawab kompleksitas zaman. Sebagaimana ditekankan Hj. Dea Mardiyanti, integrasi kearifan lokal dalam tatakelola negara dapat menjadi solusi atas krisis moral, ketimpangan, dan kerusakan lingkungan. Pemimpin masa kini perlu meneladani keteguhan bumi, kewibawaan gunung, dan kebijaksanaan resi untuk menciptakan pemerintahan yang “gemah ripah loh jinawi” (sejahtera lahir dan batin).

Seruan Aksi:

  1. Pemerintah daerah perlu membentuk Dewan Astabrata yang terdiri dari akademisi, tokoh adat, dan aktivis untuk mengawasi kebijakan publik.
  2. Mengadakan pelatihan kepemimpinan berbasis kearifan Sunda bagi birokrat dan politisi.
  3. Mendokumentasikan naskah Sunda kuno secara digital untuk mencegah kepunahan literasi budaya.

“Ngaos, Mamaos, jeung Maca” (Berzikir, Berkesenian, dan Membaca)—semangat literasi Sunda ini harus terus hidup sebagai pondasi bangsa yang beradab.*

Daftar Pustaka:

  1. Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (Abad ke-16).
  2. Mardiyanti, Dea. (2023). Hukum Adat Sunda dan Governance Modern. Penerbit Nuansa Cendekia.
  3. Wacana Pantun Bogor dan Carita Parahyangan.
  4. Kajian Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.

Artikel ini dipersembahkan untuk melestarikan kearifan Sunda Parahiangan sebagai identitas bangsa yang beradab dan berkelanjutan.

Redaksi

Leave a Comment

Recent Posts

Kawah Putih Tetap Jadi Primadona Wisata Bandung Selatan saat Libur Panjang

Rancabali, Info Burinyay - Liburan panjang kembali menghidupkan sektor pariwisata di wilayah Bandung Selatan. Para…

6 jam ago

33 Anak Dikhitan di Ponpes Al Hidayah, Bupati Bandung Hadiri Tasyakuran

Ciparay, Info Burinyay – Sebanyak 33 anak mengikuti tasyakuran khitanan massal di Pondok Pesantren Al…

7 jam ago

Pemdes Panyocokan Pacu Pembangunan Infrastruktur Untuk Dukung Kemandirian Ekonomi Warga

Ciwidey, Info Burinyay — Pemerintah Desa Panyocokan, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, terus meningkatkan pembangunan infrastruktur…

1 hari ago

Seminar Bimbingan Minat Karir Siswa Tekankan Peran Strategis Guru BK Menuju Sekolah Kedinasan

Bandung, Info Burinyay — Para Guru Bimbingan Konseling (BK) dari berbagai SMA di Kota Bandung…

3 hari ago

Kehancuran Ekonomi Global: Membongkar Pengkhianatan Perjanjian Tanjung Benoa 1996/1997

Oleh: Sultan Patrakusumah VIII Trust of Guarantee Phoenix INA-18 Tasikmalaya - Dalam beberapa bulan terakhir,…

3 hari ago

Polsek Rancaekek Ajak Pelajar Patuhi Pembatasan Jam Malam Lewat Pengarahan Langsung di Dome Rancaekek

Rancaekek, Info Burinyay – Jajaran Polsek Rancaekek mengambil langkah tegas untuk meningkatkan disiplin dan keamanan…

4 hari ago

This website uses cookies.