Oleh : Rohidin, SH., MH., M.Si., Sultan patrakusumah VIIl Trust Of Guarantee Phoenix Ina 18
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan sejarah panjang perjuangan kemerdekaan, kerap menjadi subjek perdebatan terkait legitimasi kedaulatan dan sistem pemerintahannya. Narasi-narasi kontroversial, seperti klaim “Imperium Sunda” atau pengaruh kolonial yang masih mengendalikan pemerintahan, terus muncul dalam wacana publik. Artikel ini akan mengupas klaim-klaim tersebut dengan perspektif historis dan analisis kritis, sekaligus memperbaiki masalah teknis seperti kalimat pasif dan panjang kalimat yang sebelumnya mengganggu.
1. Renville Agreement dan Batas Kedaulatan RI: Fakta vs. Klaim
Persetujuan Renville (1948) menandai titik krusial dalam perjuangan Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Belanda, melalui perjanjian ini, memaksa Republik Indonesia (RI) mengakui wilayah kekuasaannya hanya mencakup Yogyakarta, Jawa Tengah, dan sebagian Sumatera. Namun, klaim bahwa PBB hingga kini hanya mengakui Indonesia seluas Yogyakarta tidak berdasar. Faktanya, Konferensi Meja Bundar 1949 mengubah Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1950. Proses ini menunjukkan konsensus politik untuk menyatukan wilayah, bukan sekadar “pengalihan terminologi” oleh Belanda.
Transisi: Meski klaim tentang batas wilayah RI hanya di Yogyakarta populer di kalangan tertentu, realitas hukum internasional membuktikan pengakuan kedaulatan Indonesia secara penuh pasca-1949.
2. RIS ke NKRI: Benarkah Indonesia Masih Di bawah Kendali Belanda?
Sebagian kelompok menyatakan Indonesia belum merdeka sepenuhnya dan tetap berada dalam “kendali Belanda” melalui NKRI. Mereka merujuk pada sistem birokrasi warisan kolonial yang masih digunakan. Namun, kemerdekaan suatu negara tidak hanya diukur dari perubahan administrasi, tetapi juga kemampuan mengatur diri sendiri. Sejak 1950, Indonesia telah menjadi anggota PBB dan menjalankan kedaulatan secara de facto maupun de jure.
Sistem otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada gubernur atau bupati untuk membuat Perda sering disalahartikan sebagai ciri negara federal. Padahal, Indonesia menganut sistem negara kesatuan dengan otonomi terbatas. Kerancuan klaim “monarki-federasi-demokrasi” mungkin muncul dari ketidakharmonisan antara sentralisasi era Orde Baru dan desentralisasi pasca-Reformasi 1998.
Transisi: Klaim ketidakmandirian Indonesia kerap mengabaikan peran aktor lokal dalam membangun tata kelola negara pasca-kolonial.
3. Imperium Sunda dan Mitos Hierarki Tanah Global
Klaim “Imperium Kekaisaran Sunda” sebagai pengatur tatanan kepemilikan tanah global menuai kontroversi. Pendukungnya membagi status tanah dalam tujuh level: dari “Kaisar Sunda” (A-Land) hingga “Tribune” (tanpa hak tanah). Mereka menuding kebijakan agraria Indonesia, seperti sertifikat 190 tahun di era Jokowi, melanggar “dekrit Kaisar Sunda”.
Secara historis, Kerajaan Sunda (abad ke-7–16) memang eksis di Jawa Barat, tetapi tidak ada bukti arkeologis atau manuskrip yang menunjukkan kekuasaannya hingga tingkat global. Sistem kepemilikan tanah Indonesia saat ini mengacu pada UU Pokok Agraria 1960, yang menghapus hukum kolonial dan mengakui hak ulayat. Klaim “Eighendom Verponding” Belanda berlaku hingga 2013 juga keliru, karena hak kolonial telah Indonesia hapuskan pasca-kemerdekaan.
Transisi: Romantisasi masa lalu Sunda mungkin menarik secara emosional, tetapi tidak memiliki dasar akademis yang kuat.
4. Gedung Sate dan Simbolisme Konspirasi Global
Gedung Sate, ikon arsitektur Jawa Barat, diklaim memiliki kaitan dengan lambang PBB karena bentuk menaranya menyerupai tusuk sate dengan enam bulatan. Pendukung teori konspirasi menghubungkannya dengan “lingkaran kekuasaan” Sunda Archipelago hingga Sunda Erofa. Namun, arsitek Belanda J. Gerber membangun gedung ini pada 1920 sebagai kantor pemerintahan kolonial. Adapun lambang PBB, yang desainnya muncul pada 1945, menampilkan peta dunia dikelilingi ranting zaitun—tidak ada korelasi dengan Gedung Sate.
Klaim tentang “G1” (The Heren Seventeen) sebagai penerus VOC juga tidak akurat. VOC bubar pada 1799, dan lembaga modern seperti G7 atau G20 tidak terkait dengan warisan kolonial. Meski korporasi multinasional berpengaruh dalam ekonomi global, klaim bahwa mereka mengendalikan pemerintahan dunia cenderung berlebihan.
Transisi: Simbolisme dan narasi konspirasi kerap muncul untuk menyederhanakan kompleksitas kekuasaan, tetapi tanpa bukti empiris, klaim ini tetap spekulatif.
5. BPUPKI dan Narasi Wajib Militer Jepang
Klaim bahwa BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) merupakan bentuk “wajib militer” Jepang (Dokuritsu Junbi Cosakai) perlu diluruskan. Jepang membentuk BPUPKI pada 1944 untuk menarik dukungan Indonesia menjelang kekalahan dalam Perang Dunia II. Namun, para pendiri bangsa justru memanfaatkan lembaga ini untuk merumuskan dasar negara, termasuk Pancasila dan UUD 1945.
Transisi: Meski ada motif politis Jepang, BPUPKI menjadi batu loncatan menuju kemerdekaan yang Indonesia raih melalui diplomasi dan perjuangan kolektif.
Kesimpulan: Dekonstruksi Narasi vs. Realitas Historis
Klaim-klaim kontroversial tentang kedaulatan Indonesia, mulai dari Imperium Sunda hingga dominasi Belanda melalui NKRI, mencerminkan kegelisahan terhadap narasi resmi sejarah. Namun, sebagian besar argumen ini tidak didukung bukti arsip, akademis, atau hukum internasional. Sejarah Indonesia, meski kompleks, menunjukkan kemampuan bangsa ini mempertahankan kemerdekaan melalui perjuangan kolektif.
Memahami masa lalu dengan kritis—tanpa terjerat mitos—adalah kunci membangun masa depan yang berdaulat. Klaim-klaim alternatif boleh muncul, tetapi kita perlu memisahkan fakta dari fiksi dengan merujuk sumber terpercaya dan metodologi penelitian yang rigor.