Rohidin, SH., MH., M.Si., Sultan patrakusumah VIIl Trust Of Guarantee Phoenix Ina 18
Tasikmalaya, Info Burinyay – Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, dikenal sebagai wilayah yang menyimpan kekayaan budaya tak ternilai. Dari situs arkeologi hingga bangunan bersejarah, warisan ini menjadi penanda perjalanan panjang peradaban masyarakat setempat. Namun, upaya pelestariannya menghadapi tantangan kompleks.
Penelitian tesis oleh Rohidin, SH., MH., M.Si., dari STIA YPPT Priatim Tasikmalaya, mengungkap bahwa implementasi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya masih jauh dari optimal. Artikel ini akan mengkaji secara mendalam akar masalahnya, mulai dari regulasi, partisipasi masyarakat, hingga keterbatasan sumber daya.
Perda Nomor 1 Tahun 2014, yang merupakan turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, dirancang untuk melindungi cagar budaya melalui mekanisme registrasi, pelestarian, dan pengelolaan sistematis. Untuk memperkuatnya, Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 65 Tahun 2023 sebagai pedoman teknis. Namun, idealisme regulasi ini berbenturan dengan realitas birokrasi yang rumit.
Salah satu pasal kontroversial adalah Pasal 9 Perbup Nomor 65/2023, yang membatasi pencarian cagar budaya hanya pada pemerintah daerah. Masyarakat yang ingin berpartisipasi harus mengantongi izin bupati—proses yang dinilai berbelit dan memakan waktu. Alih-alih mendorong partisipasi, aturan ini justru mematikan inisiatif warga. Padahal, partisipasi masyarakat adalah kunci dalam identifikasi situs yang tersebar di daerah terpencil. Sebagai contoh, banyak situs di Desa Sukaraja atau Kawalu yang belum terdata karena ketergantungan pada prosedur birokrasi sentralistik.
Kelompok sasaran utama kebijakan ini meliputi pemilik cagar budaya, pengelola, dan masyarakat umum. Namun, penelitian Rohidin menunjukkan bahwa 70% responden tidak mengetahui keberadaan Perda tersebut. Minimnya sosialisasi menjadi penghambat utama. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai leading sector, dinilai gagal menyebarluaskan informasi melalui kanal efektif seperti media lokal atau platform digital.
Selain itu, prosedur pendaftaran cagar budaya yang rumit membuat banyak penggiat budaya enggan melapor. Misalnya, untuk mendaftarkan sebuah bangunan tua, pemilik harus menyertakan dokumen kepemilikan tanah, sejarah bangunan, dan rekomendasi dari kelurahan—persyaratan yang sulit dipenuhi masyarakat awam. Akibatnya, hanya 30% situs potensial di Tasikmalaya yang tercatat resmi, sementara sisanya rentan rusak atau hilang akibat pembangunan infrastruktur.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya memikul tanggung jawab besar dalam implementasi Perda ini. Sayangnya, kinerja dinas tersebut belum maksimal. Hanya 8% anggaran belanja dinas dialokasikan untuk pelestarian cagar budaya, padahal kebutuhan mencakup inventarisasi, pemeliharaan, dan promosi. Anggaran terbatas ini diperparah oleh kurangnya tenaga ahli—hanya 3 arkeolog yang bertugas untuk seluruh kabupaten.
Keterbatasan teknologi juga menjadi masalah. Inventarisasi masih mengandalkan metode manual, tanpa basis data terintegrasi. Sementara itu, promosi cagar budaya melalui media sosial atau website dinas nyaris tidak ada. Sebagai perbandingan, Kabupaten Magelang mengalokasikan 15% anggaran untuk cagar budaya dan menggunakan drone untuk pemetaan situs—strategi yang bisa diadopsi Tasikmalaya.
Faktor lingkungan sosial turut memengaruhi keberhasilan kebijakan. Kesadaran masyarakat tentang nilai cagar budaya masih rendah. Banyak yang menganggap situs sejarah sebagai “bangunan usang” yang menghambat pembangunan. Contoh nyata adalah alih fungsi Masjid Tua di Kecamatan Cipatujah menjadi gudang karena pemilik lebih memprioritaskan kebutuhan ekonomi.
Di sisi lain, kolaborasi dengan swasta masih nihil. Padahal, UU Cagar Budaya mengizinkan kemitraan publik-swasta untuk pengelolaan. Investor bisa dilibatkan dalam revitalisasi situs dengan skema bagi hasil, seperti yang sukses dilakukan di Kota Solo dengan Kampung Batik Laweyan. Namun, di Tasikmalaya, hal ini belum terealisasi karena ketiadaan regulasi turunan dan insentif yang menarik.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah sistematis. Pertama, penyederhanaan prosedur perizinan pencarian cagar budaya dengan melibatkan masyarakat melalui pelatihan dan pemberian insentif. Kedua, peningkatan anggaran minimal 15% untuk pelestarian, diikuti rekrutmen tenaga ahli dan adopsi teknologi. Ketiga, kampanye masif melalui media lokal, sekolah, dan komunitas budaya untuk meningkatkan kesadaran. Terakhir, pemerintah perlu merangkul swasta dengan regulasi yang menjamin keuntungan berkelanjutan, seperti tax holiday atau hak pengelolaan terbatas.
Pelestarian cagar budaya di Kabupaten Tasikmalaya bukan hanya tentang melindungi masa lalu, tetapi juga investasi untuk pariwisata dan identitas generasi mendatang. Temuan Rohidin mengingatkan bahwa kebijakan yang baik harus didukung implementasi holistik—mulai dari regulasi yang inklusif, anggaran memadai, hingga sinergi antar-pemangku kepentingan. Tanpa langkah konkret, warisan budaya Tasikmalaya hanya akan menjadi cerita usang dalam arsip pemerintah.
Ciwidey, Info Burinyay — Pemerintah Desa Panyocokan, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, terus meningkatkan pembangunan infrastruktur…
Bandung, Info Burinyay — Para Guru Bimbingan Konseling (BK) dari berbagai SMA di Kota Bandung…
Oleh: Sultan Patrakusumah VIII Trust of Guarantee Phoenix INA-18 Tasikmalaya - Dalam beberapa bulan terakhir,…
Rancaekek, Info Burinyay – Jajaran Polsek Rancaekek mengambil langkah tegas untuk meningkatkan disiplin dan keamanan…
Nagreg, Info Burinyay — Menjelang Idul Adha 1446 Hijriyah, aktivitas pemeriksaan hewan qurban meningkat di…
Rancaekek, Info Burinyay – Suasana haru mewarnai halaman SMP Pasundan Rancaekek di Jalan Tulip Raya,…
This website uses cookies.
Leave a Comment