Oleh: Rohidin, SH., MH., M.Si., Sultan Patrakusumah VIII
Tasikmalaya, Info Burinyay – Indonesia kini berada di persimpangan sejarah. Krisis global terus membayangi. Sementara kondisi dalam negeri menunjukkan gejala kemerosotan yang mengkhawatirkan. Setelah Presiden Prabowo Subianto resmi menjabat, kondisi perekonomian nasional belum juga menunjukkan tanda-tanda pemulihan signifikan. Bahkan, nilai tukar rupiah hampir menembus Rp17.000 per dolar AS. Selain itu, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah melewati angka Rp100 triliun.
Lebih dari itu, Indonesia kini turut terseret dalam pusaran konflik geopolitik internasional. Perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina semakin memanas. Dampaknya jelas terasa. Sektor industri dalam negeri menurun. Nilai ekspor pun ikut tertekan. Ketidakpastian global semakin parah dengan terus berkobarnya konflik Israel dan Palestina, serta semakin melebar dan brutalnya perang Rusia-Ukraina.
Ironisnya, informasi intelijen menyebut Rusia telah mengarahkan kekuatan militernya ke kawasan Papua. Ini menandakan wilayah Indonesia mulai dipertimbangkan sebagai bagian dari arena konflik besar dunia. Maka dari itu, presiden harus sigap, cepat, dan berani mengambil keputusan besar. Bahkan, jika perlu, mengeluarkan langkah luar biasa sebagaimana dilakukan oleh dua presiden terdahulu: Soekarno dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Belajar dari Sejarah Dekrit Bung Karno 1959
Kembali ke tahun 1959, saat Presiden Soekarno mengambil langkah konstitusional ekstrem dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Saat itu, negara berada dalam kebuntuan konstitusional. Konstituante yang dibentuk untuk menyusun UUD baru gagal mencapai kesepakatan. Ketegangan politik pun memuncak. Dalam situasi demikian, Bung Karno membubarkan Konstituante. Ia mengembalikan pemberlakuan UUD 1945. Ia juga membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959:
- Pembubaran Konstituante, karena tidak mampu menyusun UUD yang baru.
- Pemberlakuan kembali UUD 1945, menggantikan UUDS 1950.
- Pembentukan MPRS dan DPAS, sebagai lembaga transisi ketatanegaraan.
Langkah ini memang menuai pro dan kontra. Namun, sejarah mencatat bahwa tindakan tersebut menyelamatkan bangsa dari krisis tatanan hukum dan ketidakpastian konstitusi.
Dekrit Gus Dur 23 Juli 2001: Ketegasan di Tengah Oposisi Politik
Dekrit kedua muncul pada 23 Juli 2001 dari Presiden ke-4, Abdurrahman Wahid. Gus Dur, presiden yang lahir dari rahim Reformasi, mengambil sikap berani di tengah tekanan politik yang terus mengguncangnya. Ia sempat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat dan memanggil pemilu lebih awal. Sayangnya, langkah tersebut dibalas MPR dengan memakzulkannya melalui Sidang Istimewa.
Meski tidak berhasil menyelamatkan kursi presidennya, Dekrit Gus Dur mencerminkan keberanian seorang pemimpin yang siap menempuh jalur konstitusional dan tidak populer demi menjaga idealisme reformasi dan demokrasi.
Prabowo dan Dilema Kedaulatan Ekonomi Nasional
Kini, Prabowo berada dalam dilema yang tidak kalah pelik. Ekonomi nasional tertekan. Mata uang terus melemah. Rakyat mengeluh soal harga kebutuhan pokok yang melonjak. Defisit fiskal membesar. Ditambah lagi, peredaran uang mencurigakan dan maraknya praktik pencucian uang kian mencoreng integritas ekonomi negara.
Dalam situasi demikian, Presiden Prabowo tidak bisa hanya diam. Ia harus berani menempuh jalan terjal. Ia harus berani menata ulang struktur hukum dan ekonomi nasional. Termasuk, memeriksa kembali semua jalur keuangan, perizinan, lisensi, hingga status hukum jaminan aset dan instrumen keuangan lain yang selama ini rawan penyimpangan.
Jika tidak ada langkah luar biasa, Indonesia akan sulit mengejar visi “Indonesia Emas 2045” yang terus didengungkan. Visi tersebut membutuhkan landasan kuat, bersih, dan strategis. Tanpa keberanian menata ulang sistem, semua impian itu hanya akan menjadi wacana kosong belaka.
Seruan Strategis untuk Kebijakan Berani
Sebagaimana diungkapkan Prof. Mahfud MD dalam sejumlah wawancara, termasuk dalam kanal YouTube pribadinya, Indonesia saat ini membutuhkan “tangan besi yang konstitusional”. Presiden Prabowo harus berani mengambil kebijakan yang strategis, meski berisiko tinggi. Tidak semua pemimpin mampu mengambil langkah seperti itu. Namun sejarah akan selalu mencatat keberanian yang membuahkan hasil besar.
Dekrit bukanlah tindakan inkonstitusional. Justru, ketika sistem sedang buntu, dekrit dapat menjadi alat sah untuk mengembalikan jalannya pemerintahan kepada koridor konstitusi yang sejati.
Rekomendasi dan Langkah-Langkah Konkret
Jika Presiden Prabowo ingin menghindari jurang krisis yang lebih dalam, maka ia dapat mempertimbangkan langkah-langkah berikut:
- Evaluasi Total Tatanan Hukum Ekonomi Nasional. Termasuk pembekuan lisensi-lisensi bermasalah.
- Audit Menyeluruh Asal Usul Uang. Pemerintah wajib menelusuri jejak uang mencurigakan yang beredar di sistem keuangan nasional.
- Penegakan Hukum Anti-Pencucian Uang. Aparat harus diberi kewenangan ekstra untuk memberantas praktik ilegal yang merugikan negara.
- Pembentukan Lembaga Transisi Strategis. Seperti MPRS dan DPAS pada masa Bung Karno, lembaga ini penting untuk merumuskan ulang arah kebijakan nasional.
- Pemberlakuan Sistem Ekonomi Berbasis Kedaulatan. Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri, bukan bergantung pada kekuatan asing.
Penutup: Dekrit, Jalan Terakhir atau Harapan Baru?
Jika situasi terus memburuk, maka dekrit presiden bisa menjadi solusi pamungkas. Tentunya, bukan untuk membungkam demokrasi. Tetapi justru untuk menyelamatkan masa depan bangsa. Jangan sampai sejarah kembali mencatat kita sebagai bangsa yang lalai di saat genting. Presiden Prabowo memiliki mandat rakyat. Maka dari itu, ia juga memiliki tanggung jawab untuk berani mengambil keputusan besar.
Sejarah mengajarkan, bahwa pemimpin besar adalah mereka yang sanggup mengambil langkah luar biasa saat bangsa berada dalam kondisi luar biasa pula. Kini, semua mata tertuju pada langkah Presiden Prabowo. Akankah ia menempuh jalan keberanian seperti pendahulunya?
Bangsa ini tidak butuh pemimpin yang populer. Tapi pemimpin yang benar.