Info Burinyay
KeuanganOpini

QRIS: Regulasi Nasional yang Dianggap Melanggar Hukum Internasional?

Rohidin, SH., MH., M.Si., Sultan Patrakusumah VIIl Trust Of Guarantee Phoenix Ina 18

Oleh: Rohidin, SH., MH., M.Si., Sultan Patrakusumah VIII

QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) adalah sistem pembayaran berbasis kode QR yang dikembangkan oleh Bank Indonesia. Tujuannya sangat jelas: menyatukan sistem pembayaran digital di Indonesia dalam satu standar nasional. Namun, di balik kemudahan itu, muncul kritik tajam dari sejumlah pihak terkait aspek legal dan yuridis dari QRIS, terutama dalam konteks hukum internasional.

QRIS Sebagai Senjata Regulasi Nasional

Bank Indonesia menegaskan bahwa QRIS merupakan bagian dari inovasi sistem pembayaran nasional. Standar ini diyakini mampu mendukung inklusi keuangan, serta mendorong efisiensi transaksi. Lebih jauh, QRIS disebut sebagai simbol kemandirian finansial Indonesia dalam menghadapi dominasi global.

Namun demikian, tak sedikit pengamat yang menyoroti bahwa di balik regulasi tersebut, tersembunyi potensi pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip hukum internasional. Bahkan, sebagian menyebut QRIS sebagai produk dari proses yang sejak awal tidak sah.

Pertanyaan Kritis: Duluan Mana, Bank Indonesia atau Rupiah?

Kritik mendasar datang dari kalangan akademisi dan pegiat hukum internasional. Mereka mempertanyakan dasar historis dan yuridis dari klaim lisensi yang disampaikan oleh Bank Indonesia. Pertanyaan klasik namun krusial sering muncul: “Duluan mana, Bank Indonesia atau Rupiah?”

Pertanyaan ini bukan isapan jempol. Banyak pihak menduga bahwa QRIS adalah kelanjutan dari skema percetakan Rupiah ilegal yang terjadi sejak tahun 2001. Jika dugaan itu benar, maka QRIS bukanlah alat sah negara, melainkan tindakan turunan dari sebuah pelanggaran berat terhadap sistem keuangan internasional.

QRIS Dipertanyakan oleh Amerika Serikat

Tak bisa dipungkiri, Amerika Serikat melalui berbagai jalur diplomasi maupun kebijakan fiskal, turut mempertanyakan legalitasnya. Secara politik, hal ini menjadi wajar. Negara adidaya tersebut memiliki kepentingan dalam menjaga stabilitas dan keabsahan sistem moneter internasional.

Baca Juga
Tokoh Rancaekek Dukung Asep Ikhsan untuk Mendampingi Dr. HM Dadang Supriatna di Pilkada Serentak 2024

Di sisi lain, jika QRIS memang dikembangkan tanpa dasar hukum internasional yang sah, maka keberadaan sistem ini menjadi cacat secara yuridis. Dalam hukum internasional, semua sistem pembayaran lintas negara harus mengantongi jaminan nilai tukar dan lisensi sah dari lembaga yang memiliki otoritas global.

Sayangnya, hingga kini belum ada pernyataan resmi dari Mahkamah Internasional (ICJ) yang mengakui QRIS sebagai sistem yang sah secara global. Ini menambah panjang daftar polemik yang menyelimuti sistem pembayaran nasional tersebut.

Apakah QRIS Bertentangan dengan Hukum Internasional?

Secara teknis, QRIS adalah sistem domestik. Namun dalam penerapannya, QRIS digunakan dalam transaksi lintas batas, terutama melalui kerja sama antar negara Asia Tenggara. Di sinilah muncul persoalan.

Dalam kerangka hukum internasional, sistem yang bersinggungan dengan moneter global harus mengantongi otorisasi dari pemilik lisensi asli. Bila tidak, maka dianggap melanggar hukum transaksi internasional.

QRIS, dalam kacamata beberapa ahli hukum global, belum mengantongi pengakuan hukum dari lembaga yang berwenang. Artinya, penggunaannya berpotensi menyalahi prinsip keuangan lintas negara.

Pernyataan Bambang Utomo: Seruan untuk Merdeka secara Finansial

Menanggapi isu ini, Ketua Majelis Tinggi Kasultanan Selako, Bambang Utomo, turut angkat bicara. Dalam pernyataannya, ia menekankan pentingnya bangsa Indonesia bersikap tegas dan berdaulat dalam urusan keuangan.

“Jangan menjadi jiwa-jiwa budak. Jadilah jiwa-jiwa pemimpin semuanya. Tidak ada kata merdeka selama tergantung pada Belanda,” tegas Bambang Utomo. Ia juga menggarisbawahi bahwa lisensi sah harus dimiliki oleh pemilik kedaulatan asli.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa lisensi yang disebutkan oleh pemerintah atau Bank Indonesia tidaklah mutlak. Tanpa adanya pengakuan dari lembaga internasional yang sah, semua regulasi domestik terkait keuangan menjadi dipertanyakan legitimasinya.

Baca Juga
Terkait Pinjaman Mahasiswa, KPPU Akan Panggil Lembaga Pembiayaan Daring

Lisensi dan Legalitas Internasional: Sebuah Tuntutan yang Belum Terpenuhi

Kunci dari seluruh persoalan ini terletak pada satu kata: lisensi. Dalam hukum internasional, tidak cukup hanya mendeklarasikan sebuah sistem atau instrumen moneter. Harus ada pengesahan dan jaminan dari otoritas global, seperti International Court of Justice (ICJ) atau IMF.

QRIS, hingga kini, belum memiliki kejelasan soal lisensi internasional tersebut. Padahal, nilai tukar yang sah, keamanan transaksi, dan perlindungan hukum hanya bisa dijamin lewat pengakuan internasional.

Tanpa jaminan itu, QRIS rawan dianggap sebagai alat ilegal yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, dan bukan sebagai instrumen keuangan yang sah di mata dunia.

Kesimpulan: QRIS Butuh Transparansi dan Legitimasi Global

QRIS memang inovatif. Namun di balik semua itu, publik berhak tahu apakah sistem ini sah secara hukum internasional. Jangan sampai rakyat Indonesia terjebak dalam sistem yang dipromosikan nasional, namun ternyata ditolak global.

Pemerintah dan Bank Indonesia harus menjelaskan secara rinci, apakah QRIS sudah mengantongi lisensi dari lembaga internasional. Bila belum, maka sistem ini bukan hanya cacat hukum, tapi juga bisa berdampak negatif terhadap kepercayaan global terhadap keuangan Indonesia.

Transparansi menjadi kunci. Kedaulatan keuangan harus dibangun di atas fondasi hukum yang sah, bukan sekadar regulasi lokal yang tidak diakui dunia.

Related posts

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.