Ibun, Info Burinyay — Ketegangan melanda Desa Ibun setelah munculnya Surat Keputusan (SK) baru dari Perhutani tahun 2025. Perubahan mendadak terhadap pengelolaan lahan memicu kemarahan dari petani, penggarap, hingga tokoh masyarakat. Mereka menilai, keputusan itu keluar tanpa musyawarah dan tanpa pemberitahuan resmi.
Kepala Desa Ibun, H. Undang Sumarna, S.E., menyampaikan bahwa dirinya menjadi sasaran protes dari para penggarap dan pengurus Kelompok Tani Hutan (KTH). Mereka mempertanyakan alasan lahan tiba-tiba tercatat dalam wilayah administrasi Desa Laksana.
“Masyarakat marah ke saya. Padahal, saya sendiri tidak tahu kenapa lahan mereka dipindah,” ujar H. Undang saat ditemui di kantornya, Jalan Oma Anggawisastra No.414, Selasa (3/6/2025).
Menurut H. Udang, dua petak lahan, yaitu 54-G1 dan G54-G0, yang mencakup sekitar 16,85 hektare, tidak lagi tercantum dalam wilayah pengelolaan Desa Ibun. Padahal, selama bertahun-tahun, petani dari tujuh KTH di desa ini telah mengelolanya dengan tertib dan tanpa konflik.
Cecep, seorang petani penggarap, menilai keputusan itu tidak adil dan tidak memiliki dasar musyawarah.
“Kami tidak tahu menahu. Tiba-tiba saja, hak kami dicabut. Kami minta dikembalikan,” tegas Cecep.
Ia menambahkan bahwa dirinya tidak menerima surat pemberitahuan atau penjelasan apa pun dari Perhutani atau pihak manapun. Bahkan, Kepala Desa pun tidak menerima informasi sebelumnya.

Jika sebelumnya SK menunjukkan total 47,40 hektare, maka SK baru menyusutkan luas menjadi hanya 30,65 hektare. Sisanya—sekitar 16,85 hektare—langsung tercatat di wilayah Desa Laksana. Perubahan ini menimbulkan tanya besar.
“Ini ada apa? Kok bisa seenaknya begitu?” ucap seorang ketua KTH yang enggan disebutkan namanya.
Padahal, sejak awal, pengelolaan lahan ini berjalan melalui kesepakatan bersama antara Perhutani, LMDH, dan kelompok tani. Bahkan, masyarakat menyebut tidak pernah terjadi gesekan selama lebih dari satu dekade terakhir.
Banyak penggarap kehilangan akses ke lahan yang selama ini menjadi sumber nafkah mereka. Mereka mengaku bingung harus ke mana menyampaikan protes.
Para pengurus LMDH menggelar pertemuan darurat bersama perwakilan KTH dan kepala desa. Hasilnya, mereka sepakat mengajukan keberatan secara tertulis kepada pihak Perhutani.
“Kami tidak bisa diam. Ini menyangkut hak hidup warga,” kata salah satu pengurus LMDH.
Mereka juga menekankan pentingnya musyawarah sebagai prinsip utama dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat. Jika perubahan memang dibutuhkan, maka harus melalui diskusi dan persetujuan lintas pihak.
“Kita bukan menolak perbaikan. Tapi semua harus dibicarakan. Jangan abaikan kami,” ucap ketua KTH lainnya.
Ia meminta Perhutani segera melakukan klarifikasi dan memulihkan kembali status lahan seperti pada SK sebelumnya. Menurutnya, stabilitas sosial lebih penting daripada sekadar administrasi sepihak.
“Kalau dulu lahan ini sudah dibagi adil, dan semuanya berjalan tenang, kenapa harus diubah tanpa musyawarah?” tanya H. Undang.
Mereka khawatir keputusan seperti ini akan memperlemah kepercayaan rakyat terhadap lembaga pengelola hutan. Selain itu, potensi konflik antarwilayah bisa meningkat jika tidak segera diselesaikan.
“Kami hanya ingin kejelasan. Kami ingin hak kami dihormati,” ujar warga lain yang juga penggarap.
Menurut mereka, perlu ada mediasi antara pihak-pihak yang berkepentingan agar tidak muncul gejolak yang lebih besar. Pemerintah daerah memiliki posisi strategis untuk menengahi konflik semacam ini.
Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari Perhutani. Namun, masyarakat tetap berharap, suara mereka bisa didengar dan perubahan bisa dibatalkan sebelum konflik berkembang lebih jauh.
1 comment
Sebetulnya lahan dan penggarap tidak ada yang dicabut hak nya mereka tetap menggarap sebagai mana aturan yang sudah berlaku
Mereka tetap menggarap di wilayah perhutani cuman di bawah pangkuan desa laksana yang semestinya aturan kewilayahan perhutani adanya dan itu tidak mempengaruhi hak dan kewajiban nya mereka sebagai penggarap lahan perhutani