Oleh Sultan Patrakusumah VIII Trust Of Guarantee Phoenix Ina 18
Konflik antara Iran dan Israel telah mencapai titik genting. Banyak pihak menilai bahwa serangan militer Israel terhadap Iran merupakan strategi pre-emptive strike. Mereka melakukan langkah ini tanpa deklarasi perang. Artinya, konflik ini lebih menyerupai perang proksi.
Amerika Serikat memainkan peran penting dalam konflik ini. Negara adidaya tersebut terus mendukung Israel dengan kekuatan militer, intelijen, dan teknologi. Dukungan ini memperlihatkan arah kebijakan luar negeri mereka yang cenderung pro-Israel. Situasi ini memunculkan dugaan bahwa konflik tersebut sengaja dipelihara untuk kepentingan global tertentu.
Di tengah konflik ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa gagal menjalankan fungsinya. PBB hanya mengeluarkan kecaman dan resolusi tanpa hasil nyata. Banyak masyarakat internasional menyebutnya sebagai lembaga yang tidak relevan lagi. Keberadaan NATO juga memicu kekecewaan. Aliansi tersebut tampak hanya mampu berbicara tanpa tindakan konkret. Istilah No Action Talk Only mencerminkan persepsi publik terhadap NATO saat ini.
Israel terus menunjukkan kebijakan yang keras terhadap Palestina. Mereka membangun tembok pemisah dan mengisolasi wilayah Gaza. Pendekatan ini memperlihatkan budaya komunikasi yang eksklusif dan represif. Di Gaza, Israel melancarkan operasi militer besar-besaran. Warga sipil menjadi korban. Mereka menghadapi serangan udara, blokade makanan, air, dan obat-obatan. Aksi ini sangat mirip dengan genosida atau bahkan lebih parah daripada pembersihan etnis yang pernah terjadi di Kamboja oleh rezim Pol Pot.
Gaza kini menjadi killing field baru di abad modern. Ribuan warga sipil kehilangan nyawa. Dunia menyaksikan penderitaan itu setiap hari melalui media. Namun, hanya sedikit negara yang mengambil langkah nyata. Kritik keras terdengar dari berbagai penjuru, tetapi tidak membuahkan perubahan signifikan.
Konflik ini tidak lagi bersifat lokal. Ketegangan telah menyebar ke kawasan regional. Beberapa negara di Timur Tengah mulai menunjukkan reaksi tegas. Mereka meningkatkan kesiapan militer dan memperkuat posisi diplomatik. Situasi ini membuka peluang meletusnya perang regional yang lebih besar.
Perang di Ukraina juga memperkeruh situasi global. Dunia kini menghadapi dua konflik besar secara bersamaan. Keduanya melibatkan aktor-aktor besar dengan kepentingan geopolitik dan ekonomi yang saling bertabrakan. Kondisi ini memperkuat kekhawatiran akan pecahnya Perang Dunia ketiga.
Konflik regional seringkali digunakan sebagai alat tekanan dalam politik global. Banyak negara besar memanfaatkan krisis untuk memperkuat posisi dalam bidang ekonomi, keuangan, dan diplomasi. Harga energi, stabilitas mata uang, dan arus perdagangan sangat terpengaruh oleh perkembangan konflik ini.
Para pemimpin dunia harus mengambil sikap tegas dan tidak lagi menunda. Jalan damai masih tersedia, tetapi waktu terus berjalan. Jika dunia gagal bertindak, korban akan terus berjatuhan dan kehancuran akan menyebar lebih luas. Pilihan ada di tangan komunitas global: menempuh diplomasi nyata atau membiarkan dunia terbakar oleh ambisi segelintir elite kekuasaan.