Potensi Perang di Laut Mediterania dan Sandiwara Global dalam Dinamika Geopolitik. (photo-ilustrasi)
Oleh: ROHIDIN, S.H., M.H., M.Si.
Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18
Laut Mediterania kembali menjadi sorotan dunia. Bukan hanya karena keindahannya yang memesona, tetapi karena meningkatnya potensi konflik bersenjata. Wilayah ini merupakan jalur strategis global, menghubungkan Samudra Atlantik melalui Selat Gibraltar, dan Laut Hitam melalui Bosporus. Dengan luas 2.470.000 km² dan kedalaman hingga 5.267 meter di Calypso Deep, Mediterania bukan hanya penting secara geografis, tetapi juga strategis secara militer dan ekonomi.
Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara di sekitar Mediterania terlibat dalam berbagai ketegangan. Perseteruan antara Turki dan Yunani, serta konflik di Libya dan Suriah, memperlihatkan bagaimana kawasan ini rentan terhadap instabilitas. Situasi makin rumit karena kehadiran kekuatan militer besar dari luar kawasan, terutama Rusia dan negara-negara anggota NATO.
Perlu dicatat, Angkatan Laut Rusia kini memiliki kekuatan yang signifikan. Armada Laut Hitam dan Armada Pasifik, termasuk Skuadron Operasional ke-5 yang ditempatkan di Timur Tengah, menjadi tulang punggung kekuatan militer Rusia di kawasan ini. Keberadaan mereka jelas memperkuat posisi Rusia sebagai pemain utama dalam persaingan geopolitik global.
Di sisi lain, sumber daya gas alam yang melimpah di dasar Laut Mediterania telah menjadi rebutan. Negara-negara seperti Mesir, Israel, Siprus, Turki, dan Yunani terlibat dalam perebutan hak eksplorasi. Ketegangan ini berisiko meningkat menjadi konflik terbuka jika tidak segera diatasi secara diplomatik.
Kepentingan negara-negara NATO di kawasan ini tidak bisa dianggap remeh. Mediterania merupakan jalur perdagangan utama yang menghubungkan tiga benua: Eropa, Asia, dan Afrika. Oleh sebab itu, NATO menempatkan keamanan wilayah ini sebagai prioritas utama.
KTT NATO yang berlangsung di Den Haag tahun 2025 menegaskan kembali pentingnya kawasan Mediterania. Dalam pertemuan tersebut, beberapa keputusan besar diambil. Pertama, seluruh anggota sepakat untuk mengalokasikan anggaran pertahanan hingga 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) masing-masing pada tahun 2035. Ini merupakan peningkatan yang sangat signifikan.
Kedua, Rusia secara resmi dinyatakan sebagai ancaman jangka panjang bagi keamanan Euro-Atlantik. Langkah ini menandai pergeseran besar dalam strategi aliansi, sekaligus mempertegas keberpihakan NATO terhadap Ukraina. Ketiga, komitmen kolektif untuk mempertahankan sistem pertahanan bersama juga kembali ditegaskan. Semua langkah ini menunjukkan bahwa NATO mempersiapkan diri untuk kemungkinan konflik yang lebih luas, termasuk di Laut Mediterania.
Namun, di balik semua strategi dan diplomasi, muncul satu kenyataan pahit. Selama ini, konflik global sering kali menjadi ajang sandiwara yang diatur oleh kekuatan besar demi melanggengkan industri militer. Perang menjadi komoditas. Produksi senjata meningkat, perdagangan senjata dilegalkan, dan negara-negara berlomba membelinya, bukan untuk melindungi rakyat, melainkan demi memenuhi kontrak pertahanan.
Ironisnya, narasi ancaman sering dijadikan alat untuk melegitimasi pengeluaran anggaran militer yang fantastis. Sementara itu, rakyat sipil menjadi korban utama. Ribuan orang terusir dari tanah mereka, jutaan lainnya hidup dalam ketakutan, sementara keuntungan dari bisnis senjata terus mengalir ke segelintir elite global.
Melihat potensi konflik yang semakin besar, perlu ada intervensi serius dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Organisasi internasional ini harus berperan aktif dalam menetapkan zona bebas konflik di wilayah Laut Mediterania. Solusi terbaik adalah menetapkan kawasan perairan yang minim penduduk sebagai wilayah demiliterisasi permanen.
Langkah ini akan menekan eskalasi ketegangan sekaligus memberikan ruang bagi dialog antarnegara. Selain itu, PBB dapat memfasilitasi mediasi atas sengketa sumber daya alam secara adil. Jika negara-negara besar bersedia menurunkan ego geopolitiknya, maka diplomasi bisa menggantikan senjata sebagai sarana penyelesaian.
Perang tidak pernah menjadi solusi yang adil dan manusiawi. Di balik layar konflik, ada tangan-tangan tak terlihat yang menjadikan peperangan sebagai panggung bisnis. Untuk itu, dunia internasional harus membuka mata. Jika Laut Mediterania dibiarkan terus menjadi titik panas tanpa pengawasan ketat, maka ledakan perang dunia bukan lagi kemungkinan, melainkan kepastian.
Sudah saatnya komunitas global bersatu untuk menghentikan siklus kekerasan. Bukan dengan meningkatkan anggaran militer, melainkan dengan memperkuat jalur diplomasi dan keadilan sosial. Dunia tidak butuh lebih banyak bom. Dunia butuh lebih banyak meja perundingan.
Margahayu, Info Burinyay — Tangis haru dan suasana penuh suka cita menyambut kepulangan Lettu Lek…
Bandung, Info Burinyay - Dalam dunia yang bergerak cepat, masyarakat semakin sadar akan pentingnya gaya…
Cikasungka, Info Burinyay — Pemerintah Desa Cikasungka menggelar kegiatan istighosah dalam rangka memperingati Tahun Baru…
Soreang, Info Burinyay - Pemerintah Kabupaten Bandung menggelar peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharam 1447…
Jatinangor, Info Burinyay – Puluhan mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) dan tokoh pemuda Jatinangor menggelar aksi…
Tasikmalaya, Info Burinyay - Dalam forum Zoom Meeting manajemen internasional di Den Haag, Sultan Patrakusumah…
This website uses cookies.
Leave a Comment