Info Burinyay
Opini

Perang, Ego Kekuasaan, dan Supremasi Hukum: Sebuah Panggilan untuk Kembali pada Spirit Reformasi

ROHIDIN .SH.,MH.,M.SI., Sultan patrakusumah VIII Trustee Guarantee Phoenix Ina 18

Oleh: Rd. Rohidin, SH., MH., M.Si. Sultan Patra Kusumah VIII Trustee Guarantee Phoenix INA 18

Pendahuluan: Menggugah Kesadaran Global Akan Dampak Perang

Perang dalam berbagai bentuknya—baik terbuka, perang kota, maupun perang sistem—selalu menyisakan luka dan kerugian multidimensi. Negara-negara yang terlibat seringkali berangkat dari motif mempertahankan atau menonjolkan eksistensi, namun ujungnya justru melahirkan kehancuran.

Perang bukan sekadar pertarungan fisik, melainkan juga ajang adu ego antarnegara. Setiap negara ingin tampil sebagai yang paling hebat, paling kuat, dan paling dominan. Namun, sejarah telah mencatat dengan tegas: yang kalah menjadi abu, yang menang pun hanya menjadi arang.

Asal-Usul Perang: Egoisme Kekuasaan dan Kepentingan Koalisi

Jika kita menilik ke belakang, akar dari hampir semua perang adalah perebutan kekuasaan. Konflik lahir dari ambisi memperluas pengaruh, mempertahankan zona kendali, atau membalas dendam historis.

Ketika negara membentuk koalisi atau sekutu, kita harus jeli: di balik bendera persahabatan, selalu tersembunyi kepentingan politis. Tidak ada aliansi yang benar-benar bebas dari agenda tersembunyi. Logika ini semakin terlihat ketika koalisi tersebut menimbulkan dampak negatif yang melampaui nilai positifnya.

Konflik-konflik modern, jika dicermati, ibarat sebuah mekanisme trading. Sebuah publikasi kepentingan yang memperlihatkan naik-turunnya harapan rakyat. Di satu sisi, ada keberhasilan semu untuk penguasa, namun di sisi lain justru menghasilkan penderitaan rakyat banyak.

Perang Sistemik: Ketika Virus Tak Kasatmata Menggerogoti Bangsa

Tak hanya melalui senjata, perang juga bisa terjadi melalui sistem. Perang sistemik ini ibarat virus kecil yang tak terlihat. Ia menggerogoti dari dalam, perlahan tapi pasti. Kita sering mengabaikannya karena bentuknya tak kasatmata. Namun, efeknya sangat mematikan.

Kondisi ini serupa dengan seseorang yang tampak sehat, tetapi mendadak ambruk dan meninggal. Dalam konteks negara, sistem yang rusak tak selalu tampak di permukaan. Tapi ketika meledak, ia menghancurkan seluruh tatanan yang dianggap stabil.

Baca Juga
Menghindari Ancaman Resesi Ekonomi Global: Tinjauan dan Strategi untuk Indonesia

Inilah yang saya sebut sebagai kelalaian kolektif. Kita menganggap masalah kecil sebagai angin lalu, padahal ia adalah pemicu kehancuran sistemik.

Legalitas, Payung Hukum, dan Realitas Reformasi

Setiap negara memiliki legalitas hukum yang menjadi payung bagi sistem dan kebijakannya. Namun, kita perlu bertanya ulang: apakah payung itu benar-benar melindungi?

Kita boleh berteduh di bawah hukum, tapi itu tidak menjamin kita bebas dari cipratan masalah. Hukum tidak otomatis menyejahterakan. Ia harus dijalankan dengan nilai, etika, dan keadilan yang sejati.

Mari kita kembali pada semangat reformasi. Kata reformasi berasal dari dua unsur: re berarti kembali, dan formasi berarti pembentukan awal. Maka, reformasi seharusnya membawa kita pada niat awal berbangsa—yakni membangun negara berdasarkan keadilan dan kebersamaan, bukan kekuasaan semata.

Ketimuran, Adab, dan Kembali ke Jati Diri Bangsa

Kita bangsa Timur. Kita menjunjung tinggi tata krama, sopan santun, dan nilai moral. Namun, nilai-nilai itu semakin hari kian terkikis oleh pragmatisme global.

Ketika sistem mulai rapuh, solusi bukanlah dengan menambah kekuasaan atau memperluas konflik. Justru kita harus kembali ke akar budaya dan kearifan lokal. Ini bukan semata retorika, tapi kebutuhan nyata dalam membangun masa depan yang damai dan beradab.

Zona Perang dan Dampak Internasional: Ketika Semua Ikut Terseret

Saat ini, konflik global telah memasuki zona perang terbuka. Sayangnya, bukan hanya negara yang terlibat secara langsung yang menderita. Seluruh dunia ikut terdampak. Efeknya menyebar seperti asap: tak terlihat, tapi meracuni.

Lapangan pekerjaan internasional ikut goyah. Ketimpangan ekonomi melonjak. Bahkan, SDM yang tidak relevan tetap dilibatkan atas dasar kepentingan. Ini merupakan bentuk pemborosan dan kekeliruan sistem yang merugikan masa depan generasi global.

Baca Juga
Potensi Perang di Laut Mediterania dan Sandiwara Global dalam Dinamika Geopolitik

Saya sendiri telah menyampaikan aspirasi ke Perserikatan Bangsa-Bangsa agar perang dimitigasi bukan hanya dari sisi senjata, tapi dari sisi kebijakan. Sayangnya, rekomendasi itu belum sepenuhnya dijalankan.

Krisis Ekonomi dan Keruntuhan Sistem Global

Kondisi perekonomian dunia saat ini, jika dibandingkan, jauh lebih parah daripada krisis 1996–1998. Dulu, masalahnya ada pada sektor perbankan dan moneter. Sekarang, semua lini terdampak: pangan, energi, kesehatan, hingga sosial-budaya.

Perang justru memperparah situasi. Kita tidak hanya kehilangan sumber daya dan infrastruktur, tetapi juga kehilangan harapan. Sebab tidak ada pemenang sejati dalam perang. Yang ada hanyalah kehancuran kolektif.

One Law, One Justice: Supremasi Hukum Global yang Inklusif

Saatnya dunia bersepakat untuk menerapkan satu hukum universal: One Law, One Justice. Hukum yang tidak memihak, tidak pandang bulu, dan tidak tunduk pada kepentingan elit politik.

Hukum yang kita tegakkan harus dimulai dari prinsip pertama: Juridical Justice. Kemudian dilanjutkan dengan Individual Justice, Social Justice, dan Masyarakat Justice.

Namun ironisnya, hukum yang kita anut saat ini justru lemah di semua aspek itu. Mengapa? Karena hukum diciptakan oleh manusia, dan dilanggar juga oleh manusia. Bukan oleh hewan. Maka yang salah adalah kita sendiri.

Solusi: Revolusi atau Resolusi?

Jika sistem sudah terlalu rusak, apakah kita perlu revolusi? Ataukah cukup dengan resolusi yang bijak? Ini bukan soal retorika, melainkan keputusan fundamental.

Saya berpandangan, jika tidak ada pembenahan menyeluruh—baik perangkat lunak (nilai dan sistem berpikir) maupun perangkat keras (kebijakan dan struktur kekuasaan)—maka tak mungkin kita menghindari keruntuhan.

Dunia harus memperlakukan perang sebagai piktir (pikiran dan ikhtiar), bukan hanya strategi militer. Pemenang bukan yang menghancurkan, melainkan yang mampu membangun kembali dari reruntuhan dengan jiwa besar.

Baca Juga
Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung Tegaskan Larangan Study Tour ke Luar Wilayah, Menuai Beragam Respons

Penutup: Seruan Kemanusiaan untuk Masa Depan Dunia

Sebagai bagian dari bangsa dan negara, saya menyampaikan seruan moral ini bukan untuk sekadar berbicara. Tapi sebagai panggilan hati bagi seluruh anak bangsa dan komunitas global.

Mari kembali pada semangat reformasi yang sejati. Mari kita bangun kembali hukum yang adil, sistem yang bersih, dan bangsa yang bermartabat. Karena dunia yang lebih baik hanya mungkin jika kita semua berhenti memupuk ego, dan mulai menanam nilai-nilai kemanusiaan.

Related posts

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.