Menyingkap Isu Pemakzulan Wapres Gibran Lempar Batu Sembunyi Tangan Oknum Lama? (photo-ilustrasi-ai)
Oleh: ROHIDIN, SH., MH., M.Si.
Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18
Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka muncul saat kondisi negara sedang memerlukan stabilitas politik. Namun, publik perlu bertanya: mengapa isu ini mendadak mencuat? Apakah ada motif tersembunyi di balik narasi hukum dan etika?
Jika ditelaah lebih lanjut, muncul dugaan kuat bahwa isu ini hanya menjadi alat pengalihan. Sebagian elite politik dan militer lama diduga mencoba melindungi jejak korupsi yang terjadi sejak akhir masa Orde Baru. Mereka menggunakan strategi lama: menciptakan konflik baru untuk mengalihkan perhatian publik.
Sejak keruntuhan Orde Baru, Indonesia belum benar-benar terbebas dari jeratan oligarki lama. Transisi kekuasaan saat itu tampak demokratis, tetapi sistem ekonomi dan kontrol aset tetap berada di tangan segelintir orang. Akibatnya, pemulihan ekonomi berjalan lambat dan tidak merata.
Salah satu skandal besar yang jarang dibicarakan publik adalah Proyek Phoenix. Proyek ini menggunakan bendera PT Unibuwono Mataram Foundation, yang terhubung dengan pencetakan uang di Australia. Uang tersebut diklaim sebagai jaminan pribadi untuk pembangunan nasional. Namun, hingga kini, tidak ada laporan hasil nyata dari proyek tersebut.
Berdasarkan data Bank Indonesia, terdapat 48 jenderal Orde Baru yang terlibat dalam pemindahan dan penyembunyian dana negara. Uang itu dicetak dan dikirim ke luar negeri, dengan alasan mengamankan aset nasional. Namun, bukti pelaksanaan di dalam negeri tidak pernah ditemukan.
Selain itu, pada 3 Juli 2007, Presiden Soeharto secara resmi mengembalikan dana negara sebesar Rp13.000 triliun. Sayangnya, dana tersebut tidak pernah tercatat kembali ke kas negara. Tanpa audit menyeluruh, dana sebesar itu tak ubahnya mitos.
Dalam situasi saat ini, ketika negara menghadapi tantangan fiskal besar, dana tersebut seharusnya menjadi solusi. Tetapi sebaliknya, elite lama justru memunculkan isu pemakzulan Wapres. Mereka seolah mencari kambing hitam, bukan menyelesaikan akar masalah ekonomi nasional.
Reformasi 1998 seharusnya menjadi titik balik. Namun, dalam praktiknya, banyak elite justru memanfaatkannya untuk mengamankan kekuasaan pribadi. Mereka memutar opini dan memanfaatkan media. Rakyat hanya dijadikan simbol perjuangan, bukan penerima manfaat perubahan.
Peristiwa Kudatuli 1996 menjadi titik awal strategi mereka. Mahasiswa dan sipil dikorbankan. Sementara para jenderal merancang skenario transisi kekuasaan. Masyarakat percaya perubahan akan terjadi, padahal struktur lama tetap berkuasa dengan wajah baru.
Hingga kini, tidak ada audit menyeluruh terhadap aliran dana negara. Tidak ada pemeriksaan terbuka atas kekayaan para purnawirawan. Bahkan, tidak ada komitmen politik untuk mengusut tuntas pencucian uang era transisi tersebut.
Deklarasi Ciganjur pada 10 November 1998 dianggap sebagai simbol kesepakatan para tokoh reformasi. Tokoh-tokoh seperti Gus Dur, Megawati, Amien Rais, dan Sultan HB X bersatu dalam menentang Orde Baru. Namun, setelah pertemuan itu, kekuasaan justru dibagi di antara mereka.
Tidak satu pun dari mereka menindak para pelaku kejahatan keuangan era sebelumnya. Bahkan, banyak dari tokoh tersebut justru menyatu dengan sistem lama. Akibatnya, sistem ekonomi tetap dikendalikan elite yang sama. Rakyat tidak pernah merasakan keadilan ekonomi.
Kini, beberapa purnawirawan kembali ke ruang publik. Mereka mengangkat isu moral dan ketatanegaraan. Namun, di balik itu semua, mereka tidak menyentuh akar persoalan ekonomi. Mereka tidak pernah mendorong audit keuangan nasional secara transparan.
Salah satu tokoh penting adalah Jenderal (Purn) Fachrul Razi, mantan Wakil Panglima TNI. Dengan posisi strategisnya saat itu, ia seharusnya mengetahui banyak tentang aliran dana dan pengamanan aset. Namun, ia justru tampil sebagai komentator politik. Sayangnya, komentarnya tidak pernah menyentuh kejahatan ekonomi lama yang merugikan negara.
Jika mereka benar peduli pada bangsa, seharusnya mereka mendorong pembukaan data lama, bukan menggiring narasi untuk menjatuhkan generasi baru seperti Gibran.
Untuk menyelamatkan masa depan bangsa, pemerintah harus melakukan audit total. Setiap dana luar negeri yang pernah dicetak, harus ditelusuri alirannya. Aset yang tidak memiliki dokumen legal, harus disita dan dikembalikan ke negara.
Selain itu, harta kekayaan para purnawirawan dan elite masa Orde Baru harus diperiksa. Negara harus menuntut bukti asal-usul kekayaan mereka. Jika ditemukan unsur pencucian uang atau korupsi, maka proses hukum harus segera dijalankan.
Audit tidak boleh selektif. Tidak boleh berhenti pada level simbolik. Audit harus menyentuh tokoh besar yang selama ini berada di zona aman. Hanya dengan cara itu, Indonesia bisa keluar dari lingkaran korupsi dan manipulasi yang terus membelenggu.
Rakyat Indonesia tidak boleh terpancing isu yang digiring secara sistematis. Pemakzulan Wapres bisa saja bagian dari strategi elite lama untuk menyelamatkan diri. Kita harus melihat lebih dalam: siapa yang sebenarnya panik?
Kita perlu keberanian kolektif untuk membuka borok masa lalu. Jika negara terus menghindar, maka kehancuran ekonomi akan berulang. Generasi muda harus berani bertanya dan bersuara.
Apakah kita rela membiarkan bangsa ini dikuasai oleh aktor lama yang menyamar sebagai pahlawan baru?
Oleh: ROHIDIN, SH., MH., M.Si., Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18 Kehadiran…
Dalam dunia yang semakin bising oleh konten instan dan pencitraan digital, muncul sosok Rizky Prasetya…
Pasirjambu, Info Burinyay - Pemerintah Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, langsung menindaklanjuti pencairan Dana…
Cikasungka, Info Burinyay - Desa Cikasungka, Kecamatan Cikancung, Kabupaten Bandung, menjadi saksi kebersamaan warganya dalam…
Kab. Bandung, Info Burinyay — Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bandung, Dr. M. Akhiri Hailuki, M.Si.,…
Cikasungka, Info Burinyay - Pemerintah Desa Cikasungka, Kecamatan Cikancung, Kabupaten Bandung, menggelar kegiatan sosial dan…
This website uses cookies.
Leave a Comment