Info Burinyay
Opini

Rusia Ungkap Sejarah Jajahan Amerika : Diplomasi dan Perlawan Terhadap Hegemoni Barat

Rusia Ungkap Sejarah Jajahan Amerika Diplomasi dan Perlawan Terhadap Hegemoni Barat. (photo-ilustrasi-ai)

Oleh : ROHIDIN, SH., MH., M.Si.
Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18

Presiden Rusia Vladimir Putin baru-baru ini mengejutkan publik global. Ia mengangkat kembali sejarah Amerika Serikat sebagai bekas koloni Inggris dalam film dokumenter Rusia, Kremlin, Putin, 25 Years. Lebih dari sekadar kilas balik sejarah, pernyataan itu mengandung strategi diplomasi naratif yang tajam. Putin ingin menyampaikan pesan kepada dunia bahwa hubungan Rusia-Amerika tidak selalu berakar pada konflik.

Sebagai catatan, Putin mengklaim bahwa Rusia pernah membantu perjuangan kemerdekaan Amerika. Ia menyebut pengiriman senjata dan bantuan finansial kepada pihak Amerika saat melawan Inggris. Selain itu, Rusia juga mendukung pihak utara dalam Perang Saudara Amerika. Pernyataan ini bukan hanya menyentuh sejarah. Namun, ia juga membentuk narasi strategis di tengah dinamika geopolitik global.

Dari Solidaritas Sejarah Menuju Persaingan Global

Pertama, Putin sengaja mengaitkan hubungan historis Rusia-Amerika dengan situasi saat ini. Ia menyoroti bahwa kedua negara pernah berada dalam barisan yang sama. Artinya, konflik saat ini bukan keniscayaan sejarah. Sebaliknya, ia menyiratkan bahwa Rusia dan Amerika dapat bekerja sama atas dasar nilai dan kepentingan bersama.

Namun, kondisi saat ini sangat berbeda. Amerika Serikat bukan lagi bangsa jajahan. Kini, Amerika memimpin tatanan dunia dengan kekuatan ekonomi dan militer. Sayangnya, dalam dua dekade terakhir, hubungan Rusia-Amerika semakin memburuk. Persaingan geopolitik meningkat seiring konflik Ukraina, perluasan NATO, dan sanksi ekonomi.

Meski demikian, Putin tidak hanya mengkritik. Ia mencoba mengingatkan bahwa sejarah mencatat kerjasama, bukan sekadar pertentangan. Melalui pendekatan ini, Putin menyisipkan pesan penting: solidaritas dapat dibangun kembali jika kedua pihak menyadari nilai-nilai masa lalu.

Tarif Trump dan Kecaman BRICS

Selanjutnya, kita harus memahami konteks ekonomi global. Presiden Donald Trump, sejak awal kepemimpinannya, memilih jalur proteksionis. Ia meningkatkan tarif impor dan mengancam kestabilan perdagangan dunia. Dalam waktu yang hampir bersamaan, negara-negara BRICS menggelar pertemuan pada 6 Juli 2025.

Baca Juga
Kontroversi Pilkada 2024: Calon Kepala Daerah Dua Periode Kembali Maju, Adilkah?

Hasil deklarasi mereka sangat jelas. BRICS, yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, menolak kebijakan tarif Trump. Mereka menyebut bahwa tindakan tersebut berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi global. Dalam hal ini, Rusia bukan berdiri sendiri. Ia memperoleh dukungan kuat dari negara-negara besar lainnya.

Transisi dari sejarah ke isu perdagangan modern dilakukan Putin dengan cermat. Ia tidak hanya bicara masa lalu, tetapi juga menunjukkan keberlanjutan posisi Rusia dalam melawan dominasi ekonomi Barat. Secara tidak langsung, Putin menyamakan perjuangan kemerdekaan Amerika dengan perjuangan negara-negara BRICS saat ini.

Diplomasi Sejarah sebagai Senjata Politik Baru

Selanjutnya, penggunaan sejarah sebagai alat diplomasi bukan hal baru. Namun, cara Putin menyusunnya sangat strategis. Ia tidak hanya menekankan kontribusi Rusia dalam kemerdekaan Amerika, tetapi juga menyisipkan pesan moral. Jika dulu Rusia mendukung kebebasan Amerika, mengapa kini justru dicap sebagai musuh?

Dengan demikian, Putin membalik narasi. Ia menempatkan Rusia bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai mitra strategis yang pernah mendukung nilai-nilai kebebasan. Ini menjadi semacam sindiran halus terhadap dominasi unipolar Amerika. Di sisi lain, ia juga sedang membentuk citra Rusia sebagai pelindung tatanan multipolar.

Amerika sebagai Simbol Hegemoni Baru

Amerika Serikat, yang dulunya diperjuangkan untuk merdeka, kini berdiri sebagai simbol dominasi global. Namun, dominasi itu mulai menghadapi tantangan. Dunia tidak lagi mau tunduk pada satu kekuatan. Negara-negara seperti Rusia, Tiongkok, dan India berupaya menyeimbangkan sistem global yang timpang.

Dalam skenario ini, BRICS menjadi platform utama. Koalisi tersebut tidak hanya bicara ekonomi, tetapi juga menawarkan paradigma baru tentang kedaulatan nasional, keadilan ekonomi, dan distribusi kekuasaan global. Rusia melihat momentum ini sebagai peluang besar untuk memimpin dunia baru.

Baca Juga
Peraturan Bupati Tasikmalaya No. 65 Tahun 2023: Menghambat Implementasi Undang-Undang dan Perda Terkait Cagar Budaya

Melalui dukungan BRICS, Rusia memperoleh legitimasi. Putin memposisikan dirinya bukan sebagai agresor, tetapi sebagai pelopor resistensi global terhadap ketimpangan. Karena itu, ia merasa pantas mengungkit sejarah, sebagai cara memperkuat argumen moral dan strategisnya.

Strategi Putin: Dari Narasi ke Aksi Kolektif

Putin bukan hanya sedang menulis ulang sejarah, tetapi sedang mengatur panggung politik global. Dengan mengingatkan bahwa Rusia pernah menolong Amerika, ia mengarahkan opini publik internasional agar melihat Rusia dalam kacamata yang berbeda. Ia tidak ingin dunia hanya melihat Rusia dari konflik Ukraina atau kasus sanksi ekonomi.

Lebih dari itu, ia ingin membentuk persepsi baru bahwa Rusia adalah kekuatan historis yang sah dalam tatanan global. Dan bersama BRICS, ia ingin menggeser pusat gravitasi ekonomi dan politik dunia dari Barat ke blok multipolar. Oleh sebab itu, narasi masa lalu menjadi penting dalam membangun legitimasi politik masa kini.

Penutup: Narasi sebagai Kekuatan Baru

Sebagai penutup, kita harus mengakui bahwa diplomasi naratif menjadi senjata penting dalam geopolitik modern. Putin memahami bahwa kekuatan bukan hanya berasal dari senjata atau ekonomi, tetapi juga dari narasi yang dipercaya dunia. Ia tidak sedang menyajikan sejarah, tetapi sedang mengarahkan opini.

Oleh karena itu, publik global tidak boleh lengah. Kita harus membaca setiap narasi dengan kacamata kritis. Termasuk ketika seorang presiden mengangkat sejarah sebagai pijakan bagi strategi masa depan. Karena dalam dunia yang makin terpolarisasi, siapa yang menguasai narasi, ia yang akan memimpin masa depan.

Related posts

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.