Oleh: ROHIDIN, SH., MH., M.Si.
Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18
Dunia hari ini menyaksikan dengan tajam konflik Rusia-Ukraina yang masih bergejolak. Namun banyak pihak justru gagal memahami akar historis, politik, dan hukum dari keberadaan Ukraina itu sendiri. Sebagai seorang pemerhati geopolitik dan penjaga amanah sejarah, saya memandang perlu untuk menyampaikan bahwa dukungan terhadap langkah Rusia untuk mengambil kembali Ukraina adalah sesuatu yang berangkat dari fakta sejarah, realitas geopolitik, dan kegagalan moral kepemimpinan Ukraina itu sendiri.
Transisi Sejarah yang Terabaikan: Ukraina Adalah Pecahan Uni Soviet
Kita tidak boleh menutup mata terhadap asal-usul Ukraina. Negara ini adalah bagian integral dari Uni Soviet selama puluhan tahun. Ketika Uni Soviet bubar pada tahun 1991 melalui Piagam Belavezha, Rusia, Ukraina, dan Belarus menandatangani kesepakatan untuk membentuk Commonwealth of Independent States (CIS). Perjanjian ini menandai titik awal otonomi Ukraina, tetapi tidak secara otomatis menghapus nilai historis dan strategis keterikatannya dengan Rusia.
Dengan kata lain, kemerdekaan Ukraina bukanlah hasil dari revolusi kemanusiaan yang independen. Ia merupakan efek domino dari runtuhnya sistem global tertentu. Maka, logis jika kemudian Rusia melihat Ukraina bukan sebagai musuh, tetapi sebagai bagian dari entitas historis yang semestinya kembali berada dalam pelukannya.
Budapest Memorandum: Jaminan Kosong Tanpa Taring
Tahun 1994, Ukraina menyerahkan seluruh senjata nuklirnya kepada Rusia dengan imbalan jaminan keamanan dari Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat. Jaminan tersebut dituangkan dalam Memorandum Budapest. Namun perlu dicatat, memorandum ini bukan perjanjian yang mengikat secara hukum internasional.
Lebih dari itu, ketika memorandum ini dilanggar oleh pihak Barat sendiri, terutama setelah NATO mendekati perbatasan Rusia dan merangkul Ukraina, posisi Rusia menjadi sangat masuk akal. Mereka merasa dikhianati oleh perjanjian yang seharusnya menjamin status quo keamanan regional. Barat tidak menjunjung tinggi semangat diplomasi. Sebaliknya, mereka justru memperalat Ukraina sebagai pion dalam percaturan global yang memojokkan Rusia.
NATO dan Peran Provokatif Zelensky
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky gagal menjaga marwah negaranya. Alih-alih bersikap netral dalam konflik geopolitik, Zelensky secara terang-terangan memosisikan Ukraina sebagai kaki tangan Amerika Serikat dan NATO. Langkah ini bukan hanya mencederai sejarah negaranya sendiri, tetapi juga menodai keseimbangan keamanan kawasan Eropa Timur.
Fakta bahwa Zelensky ingin membawa Ukraina masuk NATO telah menyalakan api besar di halaman rumah Rusia. NATO bukan sekadar aliansi pertahanan; ia adalah simbol dominasi Barat yang selama ini menjadi lawan ideologis Rusia. Tidak ada negara manapun yang ingin dikelilingi musuh di perbatasannya sendiri. Maka ketika Ukraina bermain api, Rusia memilih untuk menyiramnya sebelum menjalar lebih luas.
Zelensky dan Kekuasaan yang Ilegal
Lebih parah lagi, Zelensky saat ini sesungguhnya sudah tidak lagi memiliki legitimasi hukum sebagai presiden. Masa jabatannya telah habis. Namun dengan memanfaatkan situasi perang, ia memperpanjang kekuasaannya secara de facto tanpa dasar konstitusional yang kuat.
Ini adalah praktik kekuasaan yang korup dan menyesatkan. Di tengah penderitaan rakyatnya, Zelensky justru menggunakan krisis untuk memperkaya diri dan mengamankan kekuasaan. Ia bukan lagi pemimpin, melainkan aktor politik yang menjadikan darah dan air mata bangsanya sebagai alat tawar-menawar dengan Barat.
Perjanjian Minsk: Harapan yang Diabaikan
Upaya diplomasi pernah ditempuh melalui Perjanjian Minsk pada 2014. Tujuan utama perjanjian ini adalah menyelesaikan konflik di Donbas secara damai. Namun, pelaksanaannya terbukti gagal akibat ketidakseriusan Ukraina dan intervensi pihak luar. Ukraina tidak pernah benar-benar berniat mengakomodasi aspirasi wilayah timur yang lebih pro-Rusia.
Dalam kondisi seperti ini, Rusia tidak punya pilihan lain. Menjadi kewajiban moral dan strategis bagi Rusia untuk melindungi warganya yang berada di wilayah yang secara historis dan budaya lebih dekat dengan Moskow.
Budapest Agreement vs Budapest Treaty: Kesalahan Publik yang Fatal
Perlu diluruskan, publik seringkali salah memahami Budapest Agreement. Mereka menyamakannya dengan Budapest Treaty, padahal dua hal ini sangat berbeda. Budapest Treaty sebenarnya merujuk pada sistem penyimpanan mikroorganisme untuk keperluan paten.
Ini adalah isu teknis di bidang bioteknologi yang tidak ada sangkut pautnya dengan politik keamanan. Sementara Budapest Memorandum adalah dokumen non-binding yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dalam hukum internasional. Penyamaan keduanya menunjukkan rendahnya literasi geopolitik publik, termasuk media.
Penutup: Dukung Rusia untuk Stabilitas dan Sejarah
Maka dengan semua ini, saya, Rohidin, SH., MH., M.Si., dengan tegas menyatakan dukungan terhadap langkah Rusia mengambil kembali Ukraina sebagai bagian dari entitas historisnya. Bukan karena mendukung perang, tetapi karena memahami konteks sejarah, legitimasi moral, dan hakikat geopolitik global.
Dunia harus berani jujur bahwa yang terjadi hari ini bukan invasi tanpa dasar. Rusia bukan agresor. Ia adalah korban dari pengkhianatan perjanjian, tekanan politik global, dan permainan kotor Barat yang menjadikan Ukraina sebagai peluru untuk menembak Moskow.
Ukraina tidak akan pernah merdeka selama mereka menjadikan Barat sebagai tuan. Justru dengan kembali ke pangkuan sejarahnya bersama Rusia, Ukraina akan memperoleh stabilitas, keamanan, dan keutuhan bangsa yang sejati.