Oleh: Rizky Prasetya Handani, S.E., M.M. Entrepreneur | Author | Social Educator | Active in Several Organizations
Kita hidup dalam zaman yang mendewakan kecepatan. Anak muda seakan dipacu untuk segera lulus, cepat kerja, lekas menikah, dan buru-buru sukses. Banyak yang merasa bahwa semakin cepat seseorang mencapai sesuatu, maka semakin tinggi nilainya. Tapi sayangnya, kecepatan sering kali tidak sejalan dengan arah yang jelas.
Dulu, saya pun terjebak dalam pola itu. Hari-hari saya penuh agenda—membangun usaha, aktif berorganisasi, menulis, dan menjalin jaringan profesional. Rutinitas saya terlihat produktif, bahkan menginspirasi bagi sebagian orang. Namun, di balik semua itu, ada rasa lelah yang terus mengendap. Energi saya terkuras bukan hanya oleh aktivitas, tetapi oleh ketidakjelasan arah yang saya tempuh.
Kesibukan itu ternyata menjadi pelarian. Saya menghindari momen tenang karena takut harus jujur pada diri sendiri. Saya takut menghadapi pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan cepat: Apa yang sebenarnya saya cari? Apakah ini jalur yang saya inginkan, atau sekadar mengikuti tekanan sosial?
Budaya Kecepatan dan Tekanan Tak Terlihat
Tekanan untuk cepat sering datang dari sekitar—orang tua, teman, media sosial. Tapi sesungguhnya, tekanan terbesar justru bersumber dari dalam diri sendiri. Kita takut dianggap lamban. Kita takut dinilai tidak produktif jika sesekali berhenti.
Sayangnya, ketergesaan ini mengorbankan sesuatu yang sangat penting: pemahaman akan diri sendiri. Kita mengejar prestasi, padahal belum mengenali nilai dan tujuan hidup pribadi. Akibatnya, banyak yang merasa asing terhadap dirinya sendiri di tengah pencapaian yang sebenarnya mengesankan.
Prestasi Tidak Selalu Mengisi Kekosongan
Di perjalanan saya, saya mengenal banyak anak muda berprestasi. Latar pendidikan mereka luar biasa. Karier mereka menanjak. CV mereka panjang dan mengesankan. Tapi ketika saya berdiskusi secara personal, tidak sedikit dari mereka merasa kosong.
Mereka sering kali tidak tahu alasan di balik pencapaian mereka. Mereka mencapai banyak hal, namun tetap merasa tidak puas. Di sinilah saya belajar bahwa pencapaian eksternal tidak otomatis membawa ketenangan batin. Jika tidak dibarengi dengan pemahaman diri, kesuksesan justru bisa terasa hampa.
Karena itu, sebelum membangun pencapaian besar, penting untuk membangun fondasi internal yang kuat. Tanpa itu, apa pun yang kita kejar akan terasa seperti berlari tanpa arah.
Menulis: Sarana untuk Berdamai dengan Diri
Saya menemukan pelipur dari kegelisahan itu melalui menulis. Aktivitas ini tidak hanya membantu saya menata pikiran, tapi juga mempertemukan saya dengan sisi diri yang selama ini saya hindari. Menulis menjadi sarana untuk menyelami emosi dan menggali pertanyaan mendasar tentang makna, ketakutan, dan harapan.
Saya tidak menulis untuk mencari jawaban yang mutlak. Saya menulis agar bisa memahami. Lewat proses itu, saya mulai menerima kenyataan bahwa menjadi dewasa bukan tentang tahu segalanya, melainkan berani mengakui ketidaktahuan dengan jujur. Kadang, justru dari situ kita bertumbuh.
Menulis juga mengajarkan saya bahwa menjadi cukup tidak harus berarti menjadi lebih. Kadang, hadir secara utuh sebagai diri sendiri adalah bentuk pencapaian yang paling mendalam.
Melambat Bukan Berarti Kalah
Banyak orang mengira bahwa yang cepat pasti menang. Tapi dalam hidup, tidak semua hal bisa dikejar dengan tergesa. Melambat bukan berarti mundur. Justru, dengan melambat kita bisa mengevaluasi langkah, memperbaiki arah, dan menguatkan pijakan.
Melambat membutuhkan keberanian. Keberanian untuk tidak ikut arus. Keberanian untuk memilih jalur sendiri, meski tak populer. Ketika kita memberi waktu untuk merenung, kita mulai memahami bahwa kedamaian datang bukan dari validasi luar, tapi dari rekonsiliasi batin yang jujur.
Sebab itu, berhentilah sejenak jika lelah. Gunakan waktu hening untuk mendengarkan diri sendiri. Karena sering kali, keheningan mengantar kita kembali pada arah yang sebenarnya.
Ambisi Harus Didukung Pemahaman Diri
Saya tidak anti terhadap ambisi. Justru saya percaya bahwa ambisi adalah bahan bakar penting untuk pertumbuhan. Namun, ambisi tanpa arah hanya akan menimbulkan kebingungan. Kita bisa sibuk, tapi kehilangan makna.
Ambisi yang sehat adalah ambisi yang dilandasi pemahaman. Saat kita tahu siapa diri kita dan apa yang benar-benar penting, kita tidak mudah tergoda oleh pencapaian orang lain. Kita tidak mudah terseret arus tren. Kita juga tidak cepat panik saat merasa tertinggal.
Maka, sebelum menetapkan target, penting untuk mengenali nilai-nilai pribadi. Sebelum mengejar lebih banyak, pastikan kita tahu mengapa kita ingin mencapainya.
Untuk Kamu yang Sedang Bingung
Jika hari ini kamu merasa tidak pasti, atau seolah-olah semua orang sudah tahu arah hidupnya sementara kamu belum—tenanglah. Itu bukan kegagalan. Itu adalah bagian dari pencarian yang sehat.
Boleh jadi, kamu sedang berada dalam fase penting: fase mengenali, mengevaluasi, dan membentuk ulang arah hidupmu. Jangan merasa sendirian. Banyak dari kita yang sedang menjalani proses yang serupa.
Ingat, tidak semua hal perlu diselesaikan hari ini. Tidak semua langkah harus cepat. Yang penting adalah melangkah dengan kesadaran dan ketulusan.
Penutup: Perjalanan Kembali ke Diri Sendiri
Hidup bukan tentang siapa yang sampai duluan, tapi tentang siapa yang mampu menjalani perjalanannya dengan jujur. Kita semua sedang berproses. Kita semua pernah salah langkah. Namun, kita juga semua punya peluang untuk kembali ke jalur yang tepat.
Jadi, jangan terlalu keras pada dirimu. Jika kamu merasa tersesat, mungkin itu bagian dari prosesmu untuk menemukan pulang. Dan ketika kamu kembali pada diri yang sesungguhnya, kamu akan menyadari: itulah sukses yang paling bermakna.