Info Burinyay
Opini

Personal Branding vs Pamer: Menyeberangi Batas Tipis antara Nilai dan Validasi

Rizky Prasetya Handani, S.E., M.M., Praktisi komunikasi, Entrepreneur dan Edukator Pengembangan Diri. - (photo-red)

Oleh: Rizky Prasetya Handani, S.E., M.M., Praktisi komunikasi, Entrepreneur dan Edukator Pengembangan Diri

Era Narasi Diri: Saatnya Menyadari Batas yang Tipis

Kita hidup di zaman ketika narasi diri menjadi alat penting dalam membentuk persepsi. Media sosial bukan hanya tempat berbagi cerita, tapi juga arena membangun citra. Namun, dalam proses ini, batas antara personal branding dan pamer semakin kabur.

Di sisi lain, banyak individu berniat menyampaikan nilai dan kontribusi. Sementara itu, sebagian orang lainnya justru merasa jengah karena narasi yang muncul terasa menyilaukan.

Oleh karena itu, penting bagi kita memahami perbedaannya. Bukan hanya dari segi bentuk, tetapi juga dari niat, dampak, dan cara penyampaiannya. Dengan pemahaman yang tepat, kita bisa membangun citra diri yang sehat dan bermanfaat tanpa menimbulkan salah tafsir.

Personal Branding: Membangun Citra yang Bernilai dan Otentik

Personal branding bukan sekadar pencitraan kosong. Ia merupakan proses sadar untuk menunjukkan identitas, kompetensi, dan nilai yang dapat ditawarkan kepada publik.

Dalam dunia profesional, kehadiran digital bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Calon mitra, klien, atau rekan kerja menilai dari cara seseorang menunjukkan diri. Oleh karena itu, tampil secara aktif dan konsisten menjadi bagian dari strategi komunikasi personal.

Misalnya, seorang mentor karier yang membagikan pengalamannya tidak sedang menyombongkan diri. Sebaliknya, ia sedang membangun kepercayaan dan menunjukkan kapasitasnya secara terbuka.

Selain itu, personal branding yang baik akan selalu berorientasi pada kontribusi. Ia tidak menjual ego, melainkan menyampaikan gagasan dan nilai secara jujur, relevan, dan inklusif.

Pamer: Saat Komunikasi Kehilangan Arah dan Tujuan

Berbeda dengan branding, pamer muncul saat komunikasi kehilangan substansi. Gaya bicara berfokus pada pencapaian, tanpa memberikan konteks atau proses di baliknya.

Baca Juga
Lucky Richard Chasmaran : Rahasia Bangkit dari Kegagalan Menyambut Tahun Baru 2025 

Motivasi utama dari pamer biasanya adalah pencarian pengakuan. Orang yang pamer tidak ingin berbagi nilai. Ia lebih tertarik menunjukkan keberhasilan untuk mendapatkan kekaguman semu.

Sebagai contoh, seseorang memamerkan gaya hidup mewah tanpa menjelaskan kerja keras atau perjalanan di baliknya. Akibatnya, audiens yang melihat bisa merasa terintimidasi atau rendah diri.

Lebih dari itu, nada komunikasinya juga cenderung membandingkan. Tidak sedikit yang akhirnya merasa tertinggal karena melihat kesuksesan yang tampak terlalu sempurna.

Maka dari itu, pamer bukan hanya tidak memberi manfaat, tetapi juga dapat menyakiti emosi dan menurunkan semangat orang lain.

Menjadi Terang: Hadir untuk Menginspirasi, Bukan Mengintimidasi

Salah satu cara membedakan antara pamer dan personal branding adalah dengan mengajukan pertanyaan reflektif: “Apakah saya sedang menjadi terang, atau menyilaukan?”

Menjadi terang artinya kita hadir untuk menerangi orang lain. Kita membagikan cerita agar orang lain mendapat pelajaran. Kita menampilkan diri agar orang lain berani melangkah.

Di sisi lain, menyilaukan justru membuat orang lain merasa kecil. Tujuan utamanya bukan memberi, tetapi memperlihatkan keunggulan yang berlebihan.

Perlu disadari bahwa niat membentuk dampak. Saat kita ingin menjadi terang, kita akan memilih kata-kata dengan empati. Kita mempertimbangkan kondisi audiens, dan tidak memaksakan persepsi.

Dengan begitu, kehadiran kita bukan hanya terlihat, tetapi juga bermakna.

Iri pada Orang Lain? Mari Ubah Perspektif Kita

Rasa iri kerap muncul saat kita melihat keberhasilan orang lain. Terutama ketika pencapaian tersebut ditampilkan secara visual, seperti foto atau statistik.

Namun, penting untuk diingat bahwa kita tidak pernah tahu cerita lengkap di balik keberhasilan itu. Kita hanya melihat potongan-potongan yang sudah dikurasi.

Fenomena ini dikenal sebagai highlight reel bias. Kita membandingkan diri sendiri yang penuh perjuangan dengan versi terbaik dari orang lain yang ditampilkan secara publik.

Baca Juga
Ulama Dirangkul, Angka Berbicara

Daripada iri, kita bisa memilih untuk belajar. Ubah rasa tidak nyaman menjadi rasa ingin berkembang. Tanyakan pada diri sendiri:

  • Apa pelajaran yang bisa saya ambil?
  • Adakah langkah yang bisa saya tiru secara adaptif?
  • Bagaimana saya bisa menumbuhkan versi terbaik dari diri saya?

Dengan cara itu, kita tetap tumbuh tanpa perlu merendahkan diri sendiri.

Prinsip Etika dalam Personal Branding

Agar personal branding tidak tergelincir menjadi pamer, kita perlu berpegangan pada prinsip etis. Etika akan menjaga niat dan menata cara kita berkomunikasi.

Berikut beberapa prinsip penting:

  1. Transparansi proses: Ceritakan perjalanan, bukan hanya hasil. Proses memberi inspirasi lebih kuat daripada angka.
  2. Bahasa inklusif: Hindari nada menggurui. Gunakan kalimat yang mengajak, bukan membandingkan.
  3. Konsistensi nilai: Pastikan konten sesuai dengan prinsip yang kita pegang dalam hidup.
  4. Relevansi audiens: Tanyakan apakah konten yang dibagikan memberi manfaat kepada orang lain.
  5. Kesadaran sosial: Pertimbangkan waktu, konteks, dan sensitivitas publik sebelum menyampaikan cerita.

Dengan menerapkan prinsip ini, kita bisa tampil lebih etis dan bermakna. Bukan hanya untuk keuntungan pribadi, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab sosial.

Dunia Membutuhkan Suara Baik yang Berani Tampil

Sayangnya, banyak orang jujur memilih diam karena takut disalahpahami. Padahal, ruang digital justru memerlukan lebih banyak kehadiran yang otentik dan reflektif.

Jika hanya mereka yang tak peduli etika yang tampil, maka pesan-pesan dangkal akan terus mendominasi. Ini justru berbahaya bagi kesehatan mental kolektif.

Maka, mari berani tampil. Bukan untuk menyombongkan diri, tetapi untuk menyampaikan kebaikan. Tampilkan gagasan, cerita perjuangan, atau pengalaman hidup yang bisa memberi kekuatan bagi orang lain.

Kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Tetapi kita bisa memastikan bahwa yang kita bagikan bernilai dan berdampak.

Baca Juga
Mengungkap Rahasia Kekuatan Nasional: Faktor Penentu Kejayaan Negara

Penutup: Mari Menjadi Cahaya, Bukan Cermin yang Menyilaukan

Kini saatnya kita menata ulang cara kita tampil. Personal branding bukan tentang menunjuk diri. Ia tentang menyampaikan makna dan memberi inspirasi.

Sebaliknya, pamer hanyalah bayangan dari kebutuhan validasi yang tak pernah cukup. Ia tidak memberi cahaya, hanya kilau sesaat.

Mari hadir dengan niat memberi. Mari tampil dengan kesadaran bahwa setiap kata bisa menguatkan atau melemahkan.

Menjadi terang bukanlah ambisi pribadi. Ia adalah pilihan sadar untuk membantu orang lain tumbuh bersama. Dan dunia butuh lebih banyak terang seperti itu.

Related posts

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.