Oleh: Rohidin, SH., MH., M.Si.
Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18
Pengantar: Supremasi Hukum Bukan Hiasan Diplomatik
Sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja mencerminkan krisis wibawa Mahkamah Internasional (ICJ). Ketika satu negara menolak keputusan hukum tertinggi, maka hukum global kehilangan tajinya. Dunia tidak boleh membiarkan preseden ini berkembang.
Putusan ICJ harus menjadi rujukan final. Bila negara seperti Thailand tetap membangkang, artinya ada krisis kepatuhan terhadap tatanan hukum dunia. Kita tidak boleh menyikapinya dengan sikap lunak.
Akar Konflik: Sejarah yang Dimanfaatkan untuk Kepentingan Nasionalisme
Konflik Thailand dan Kamboja tidak muncul tiba-tiba. Perselisihan sudah berlangsung sejak penetapan batas wilayah saat kolonialisme Prancis menduduki Kamboja. Peta kolonial menjadi sumber ketegangan.
Pada tahun 2008, Kamboja mencoba mendaftarkan Kuil Preah Vihear ke UNESCO. Langkah ini menimbulkan amarah di Thailand. Mereka menuduh Kamboja mencaplok wilayah yang masih disengketakan.
Padahal ICJ sudah memutuskan sejak 1962 bahwa kuil itu sah milik Kamboja. Thailand justru tetap bersikeras dengan klaimnya, menggunakan peta versi militer buatan sendiri.
Dualisme Peta: Argumentasi yang Saling Menyangkal
Thailand menggunakan peta berskala 1:50.000 dari Departemen Survei Kerajaan Thailand (RTSD). Sebaliknya, Kamboja memakai peta skala 1:200.000 yang bersumber dari perjanjian Perancis-Siam tahun 1904 dan 1907.
Kamboja memegang bukti historis dan legal yang kuat. ICJ juga menyatakan bahwa Thailand pernah mengakui peta tersebut. Artinya, dasar klaim Kamboja bukan sekadar narasi nasionalisme, tetapi memiliki legitimasi hukum yang sahih.
Putusan ICJ: Final, tetapi Tetap Diabaikan
ICJ memutuskan pada 1962 bahwa Preah Vihear masuk wilayah Kamboja. Pada 2013, ICJ kembali menegaskan batas wilayah di sekitar kuil. Tetapi Thailand terus mengingkari dan menyebar narasi penolakan.
Kamboja menghormati prosedur hukum internasional. Mereka tidak mengangkat senjata tanpa alasan. Mereka memilih jalur hukum. Namun ironisnya, Thailand tetap menolak putusan ICJ dan menuding yurisdiksi ICJ tidak berlaku atas wilayah tersebut.
Bentrokan Berkepanjangan: Nyawa Sipil Jadi Korban
Sikap membandel Thailand memicu banyak insiden bersenjata. Sejak 2008, pasukan kedua negara sering terlibat bentrokan. Korban jiwa terus berjatuhan, baik dari militer maupun warga sipil.
Situasi ini sangat membahayakan. Dunia harus menyadari bahwa konflik ini bukan sekadar soal perbatasan. Ini menyangkut martabat hukum internasional. Jika dibiarkan, perang terbuka bisa terjadi sewaktu-waktu.
Kasus Baru: Segitiga Zamrud dan Empat Kuil Kuno
Kamboja kembali membawa kasus baru ke ICJ pada Juni 2025. Sengketa kali ini melibatkan wilayah di Segitiga Zamrud serta empat kompleks kuil kuno. Sengketa kian meluas.
Artinya, akar konflik tidak bisa dianggap selesai dengan satu putusan. Kamboja mencari kejelasan hukum, sementara Thailand terus bersikap keras kepala. Keadaan seperti ini membutuhkan intervensi tegas dari komunitas internasional.
ICJ Harus Bertindak Lebih Tegas: Bukan Hanya Memutuskan
Sudah waktunya ICJ mengambil langkah lebih konkret. Mereka tidak cukup hanya memberi putusan. Mereka perlu mengajukan surat rekomendasi ke Dewan Keamanan PBB agar konflik dihentikan.
Jika bukti menunjukkan bahwa Thailand melawan putusan ICJ tanpa dasar hukum yang sah, maka perlu ada sanksi tegas. Penolakan terhadap hukum internasional merupakan pelanggaran serius terhadap Piagam PBB.
Dewan Keamanan PBB Tidak Bisa Diam
Dunia tidak bisa berharap pada diplomasi lembut semata. Dewan Keamanan PBB harus segera mengaktifkan mandatnya. Mereka harus mengirim tim verifikasi, membentuk zona demiliterisasi, atau menjatuhkan embargo diplomatik.
Tindakan nyata menjadi satu-satunya cara menghentikan konflik. Ketika hukum tidak dipatuhi, maka kekacauan menjadi konsekuensi logis. Jangan sampai situasi seperti di Ukraina, Palestina, atau Myanmar terulang kembali di Asia Tenggara.
Keadilan Tidak Bisa Ditawar: Hukum Harus Berdiri Tegak
Keadilan hukum internasional tidak boleh tergadai oleh tekanan politik dalam negeri. Bila fakta dan peta menunjukkan kuil itu milik Kamboja, maka semua pihak harus tunduk.
Pelanggaran terhadap keputusan ICJ merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat hukum global. Dunia internasional tidak boleh memberi ruang kompromi pada pelanggaran terang-terangan seperti ini.
Penutup: Jangan Tunggu Ledakan Konflik Terjadi
Konflik Thailand-Kamboja harus segera ditangani dengan pendekatan hukum dan diplomatik yang berwibawa. ICJ tidak boleh hanya menjadi simbol. Dunia harus berdiri di belakang putusan mereka.
Jika tidak, maka konflik ini akan menjadi preseden buruk. Negara lain akan mulai meremehkan hukum internasional. Ketika hukum tak lagi ditegakkan, maka perdamaian hanyalah utopia kosong.
Mari kita dorong lembaga dunia untuk bertindak. Bukan karena keberpihakan pada salah satu negara, tetapi demi menegakkan hukum dan menjaga perdamaian dunia. Dunia harus berpihak pada keadilan, bukan pada kekuasaan semata.