Amerika dan Kegagalan Tata Dunia Di Mana Letak Hukum Ketika Adidaya Membangkang? (photo-ilustrasi-ai)
Oleh: Rohidin, SH., MH., M.Si., Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18
Amerika Serikat tetap memegang kendali utama dalam percaturan geopolitik global. Dalam setiap konflik internasional, pengaruh Washington selalu muncul, baik secara terang-terangan maupun melalui negara proksinya. Kondisi ini mencerminkan bahwa sistem dunia saat ini masih bergantung pada satu kekuatan besar.
Namun, dominasi tersebut menghadirkan ironi yang semakin mencolok. Ketika penguasa dunia justru melanggar prinsip keadilan global, maka sistem internasional patut dipertanyakan. Salah satu contoh nyata terlihat dalam konflik Thailand–Kamboja mengenai Kuil Preah Vihear.
Mahkamah Internasional (ICJ) pada 1962 memutuskan bahwa Kuil Preah Vihear merupakan wilayah sah milik Kamboja. Putusan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat. Namun, Thailand kembali mengklaim wilayah itu dan melakukan agresi militer pada dekade berikutnya.
Ironisnya, Amerika justru memberikan toleransi terhadap aksi militer Thailand. Bahkan, secara diam-diam, mereka tetap mempertahankan dukungan logistik dan diplomatik. Tindakan ini menandakan bahwa kepentingan geopolitik lebih diutamakan daripada penegakan hukum.
Transisi ini menunjukkan pergeseran serius dalam sistem internasional. Kekuatan telah menggantikan hukum sebagai rujukan utama dalam pengambilan kebijakan global. Dunia hanya bisa menyaksikan, tanpa mampu memaksa negara kuat untuk tunduk pada keputusan yang adil.
Kelemahan institusi seperti ICJ dan ICC terletak pada minimnya kemampuan eksekusi. Ketika mereka mengeluarkan putusan atau surat perintah, pelaksanaannya sangat tergantung pada kemauan negara-negara besar. Jika tidak ada dukungan politik global, maka putusan itu menjadi tidak berguna.
Contoh paling mencolok terlihat pada surat perintah penangkapan terhadap Vladimir Putin dan Benjamin Netanyahu. Hingga saat ini, tidak ada langkah konkret untuk menangkap keduanya. Sebaliknya, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) justru lebih aktif menargetkan pemimpin negara berkembang seperti Rodrigo Duterte.
Keadilan tampak berjalan dengan standar ganda. Negara kecil selalu menjadi sasaran hukum, sementara negara besar bebas dari konsekuensi. Ini membuktikan bahwa hukum internasional tidak berjalan adil, melainkan tunduk pada kekuasaan dan tekanan politik.
Dalam konteks konflik global, Indonesia pernah ditawari kerjasama nuklir oleh Rusia. Untungnya, pemerintah tidak tergoda dan memilih menjaga netralitas. Keputusan tersebut menyelamatkan Indonesia dari potensi serangan terbuka dari negara-negara Barat.
Jika kerjasama itu terjadi, Indonesia bisa saja dianggap sebagai bagian dari blok musuh oleh Amerika. Dalam situasi tersebut, serangan ekonomi dan militer sangat mungkin terjadi. Maka, keputusan menolak kerjasama nuklir adalah langkah strategis yang sangat tepat.
Netralitas aktif harus terus dijaga, tetapi netralitas saja tidak cukup. Indonesia juga perlu bersuara tegas di forum internasional. Ketika ketidakadilan terjadi, suara Indonesia harus berdiri di atas prinsip, bukan hanya diplomasi kosong.
Kebijakan luar negeri Amerika menunjukkan standar ganda yang mencolok. Mereka mengklaim sebagai penjaga hukum dan demokrasi, namun sering kali justru memicu pelanggaran besar. Kasus Thailand–Kamboja membuktikan hal itu.
Ketika negara sekutu melanggar hukum internasional, Amerika memilih diam. Namun, ketika negara musuh dianggap melakukan hal yang sama, mereka langsung menyerukan sanksi dan intervensi. Dunia kini menyaksikan kebangkrutan moral dari penguasa global yang mestinya menjadi panutan.
Transisi dari sistem hukum ke sistem kekuatan bukan sekadar perubahan teknis. Ia menciptakan ketidakstabilan dan ketimpangan. Tanpa keberanian untuk menindak negara kuat, keadilan hanya menjadi retorika semata.
Jika dunia terus bergantung pada satu kutub kekuasaan, maka keadilan sejati tidak akan pernah terwujud. Kekuatan militer Amerika akan terus menjadi penentu hukum, bukan sebaliknya. Dalam kondisi ini, Mahkamah Internasional hanya menjadi simbol, bukan pelaksana hukum.
Maka, reformasi sistem hukum global menjadi keharusan. Semua negara, tanpa kecuali, harus tunduk pada hukum. Tidak boleh ada kekebalan diplomatik atau perlindungan veto bagi pelanggar. Dunia tidak bisa menunggu Perang Dunia Ketiga untuk mengubah tatanan ini.
Keberanian komunitas internasional untuk berdiri di atas hukum akan menjadi kunci perubahan. Tanpa itu, dunia hanya akan terus menyaksikan penindasan yang dibungkus legalitas semu. Saatnya bangun tatanan baru yang adil, transparan, dan tidak tunduk pada kekuasaan.
Soreang, Info Burinyay - Pemerintah Kabupaten Bandung bersama pengelola Nawasena menggelar peresmian Driving Range di…
Bandung, Info Burinyay — Sebanyak 117 kader Ormas MKGR Jabar onton bareng Film Lyora pada…
Ciwidey, Info Burinyay — Anggota DPD RI Komite II Bidang Pertanian, Alfiansyah Bustami atau yang…
Ciwidey, Info Burinyay – Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) kembali berjalan sukses di Kabupaten…
Soreang, Info Burinyay — Dewan Pimpinan Cabang Partai Kebangkitan Bangsa (DPC PKB) Kabupaten Bandung akan…
Garut, Info Burinyay — Pemerintah Kabupaten Garut mengambil langkah konkret dalam mendukung Sensus Ekonomi 2026.…
This website uses cookies.
Leave a Comment