WAR IS BUSINESS Perang Diproduksi, Damai Ditunda — Sapa yang Untung ? (photo-iliustrasi-ai)
Oleh: Rohidin, SH., MH., M.Si., Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18
Perang bukan akibat benturan budaya atau ideologi. Perang adalah hasil kalkulasi ekonomi yang disengaja. Negara adidaya tidak pernah berniat mengakhiri konflik. Justru sebaliknya, mereka menciptakan panggung-panggung baru agar mesin uang tetap menyala.
Sistem global tidak dibentuk untuk keadilan. Sejak awal, mereka merancangnya demi dominasi dan kontrol penuh atas dunia ketiga. Konsep bilateral dan multilateral hanyalah topeng. Lewat perjanjian tersebut, negara kuat menyusup ke dalam urusan ekonomi domestik negara berkembang.
Bank sentral di banyak negara berkembang sudah kehilangan peran strategis. Mereka tidak lagi menjaga kedaulatan moneter. Sebaliknya, mereka menyesuaikan kebijakan dengan arahan institusi keuangan global. Akibatnya, banyak keputusan penting—seperti suku bunga dan pencetakan uang—diambil bukan demi kepentingan rakyat, tetapi demi stabilitas pasar luar.
Di sisi lain, bank swasta tumbuh tanpa kendali. Mereka menguasai arus kredit dan menekan usaha produktif. Negara akhirnya terjebak dalam lingkaran utang. Ironisnya, sebagian besar dana pinjaman digunakan untuk membayar utang sebelumnya, bukan untuk mendorong pertumbuhan.
Amerika Serikat telah mencetak utang hingga USD 37 triliun. Mereka tidak mencari solusi jangka panjang. Sebaliknya, mereka menerbitkan obligasi baru untuk menambal kekurangan. Negara-negara lain membeli obligasi itu karena sistem global memaksa mereka menahan cadangan dalam bentuk dolar.
Ketika ekonomi tak kunjung pulih, para elit global mengganti strategi. Alih-alih memperbaiki sistem, mereka memicu perang. Perang bukan hanya tentang peluru, tetapi tentang uang, pengaruh, dan dominasi wilayah.
Perhatikan konflik di Asia Tenggara. Kamboja, Laos, dan Vietnam dulunya dijajah Prancis. Burma (Myanmar) berada di bawah Inggris. Thailand—atau dulu disebut Siam—tidak pernah menjadi koloni. Setelah Prancis kalah di Dien Bien Phu tahun 1954, Amerika segera mengambil alih.
Mereka menyebar pengaruh lewat JUSMAG (Joint United States Military Advisory Group). Dengan dalih bantuan militer, mereka membentuk jaringan pangkalan dan proksi politik. Hasilnya, kawasan ini berubah menjadi ladang konflik bertahun-tahun.
Vietnam, Kamboja, dan Laos bukan sekadar medan perang. Negara-negara itu dipakai sebagai laboratorium militer. Jet tempur, rudal, dan sistem radar diuji langsung dalam pertempuran nyata. Perusahaan senjata meraih untung besar. Negara-negara pemasok mengeruk devisa dari penderitaan orang lain.
Setiap konflik menciptakan pasar. Ketika perang meletus, negara-negara terpaksa membeli senjata, memperbesar anggaran militer, dan mengimpor teknologi pertahanan. Semua itu memaksa mereka kembali berutang kepada lembaga internasional.
Hari ini, Laut Cina Selatan berubah menjadi zona panas. Tiongkok telah membangun pangkalan militer di Kamboja. Amerika, yang tak punya pijakan kuat di kawasan ini, merasa terancam. Diego Garcia terlalu jauh, sehingga tak cukup efektif sebagai basis operasi.
Mereka pun memancing ketegangan di Taiwan dan Filipina. Mereka menghidupkan kembali isu keamanan di kawasan, agar alasan untuk memperluas kehadiran militer tetap sah.
Strateginya jelas. Ketika pengaruh ekonomi menurun, konflik terpaksa dimunculkan. Ketika kepercayaan terhadap dolar melemah, perang digunakan untuk mengikat kembali ketergantungan.
Bangsa ini tidak boleh mengikuti permainan global. Indonesia punya sumber daya melimpah. Energi, pangan, dan kekuatan demografi kita bisa menjadi penopang kemandirian ekonomi. Namun, selama bank sentral masih mengikuti arah pasar global, kedaulatan hanya akan jadi slogan kosong.
Pemerintah harus membebaskan diri dari ketergantungan utang luar negeri. Keuangan negara harus bergantung pada hasil produksi sendiri, bukan dari obligasi asing. Bank swasta harus dikendalikan agar tidak mengalahkan otoritas negara.
Jika bangsa ini ingin mandiri, maka sistem perbankan dan fiskal wajib kembali ke pangkuan konstitusi.
Perang bukan solusi. Justru perang adalah alat untuk mempertahankan sistem yang cacat. Mereka tidak menjual damai. Mereka menjual peluru dan propaganda.
Bangsa yang sadar tidak akan ikut dalam skenario konflik buatan. Kita harus melawan, bukan dengan senjata, tetapi dengan kesadaran dan kemandirian.
Karena sejatinya, damai bukan dijaga dengan misil. Damai dijaga dengan keadilan ekonomi dan sistem yang manusiawi.
Garut, Info Burinyay — Pemerintah Kabupaten Garut mengambil langkah konkret dalam mendukung Sensus Ekonomi 2026.…
Soreang, Info Burinyay - Konflik soal pembagian sertifikat program PTSL di Desa Rawabogo memicu sorotan…
Baleendah, Info Burinyay - SMA KP Baleendah menggelar kegiatan bimbingan teknis (Bimtek) seleksi masuk Akpol,…
Jakarta, Info Burinyay — Taufik Abriansyah akhirnya menyelesaikan perjalanan sepeda seorang diri ke Merauke, Papua.…
Bandung, Info Burinyay – Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI) Provinsi Jawa Barat menyelenggarakan peringatan puncak…
Bandung, Info Burinyay — Wakil Gubernur Jawa Barat, H. Erwan Setiawan, S.E., menegaskan bahwa Persatuan…
This website uses cookies.
Leave a Comment