Oleh: Rohidin, S.H., M.H., M.Si. — Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18
Indonesia memiliki lebih dari 17 ribu pulau dan dikelilingi laut luas. Tapi ironisnya, negara ini belum mampu memanfaatkan kekuatan maritimnya secara maksimal. Empat jalur laut strategis—Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar—masih dibiarkan menjadi lalu lintas bebas kapal asing tanpa kontribusi berarti untuk negara.
Padahal, jika negara serius mengatur arus lautnya, jutaan ton barang yang melintas setiap tahun bisa menjadi sumber pemasukan besar. Tapi kenyataan berkata sebaliknya. Negara justru membebani rakyat melalui pajak, retribusi tanah, dan regulasi bank yang membekukan rekening warga karena dianggap tidak aktif. Situasi ini sangat janggal dan mencerminkan kegagalan prioritas kebijakan nasional.
Selat Malaka dan Kesempatan yang Terbuang
Selat Malaka adalah salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. Setiap harinya, ribuan kapal niaga melintas membawa minyak, logistik, dan barang perdagangan bernilai miliaran dolar. Meski begitu, Indonesia belum menempatkan posisi strategisnya sebagai pengelola arus tersebut secara maksimal.
Negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia justru mampu mengatur jalur ini dengan tarif dan sistem yang jelas. Sementara kita, sebagai pemilik wilayah lautnya, hanya menjadi penjaga lalu lintas tanpa keuntungan signifikan. Mengapa Indonesia tidak memungut retribusi atau tarif layanan navigasi seperti halnya tol darat?
Apabila pemerintah menerapkan skema pungutan minimal, misalnya Rp1 per kilogram barang lintas laut, kas negara akan terisi triliunan rupiah setiap tahun. Namun, hingga hari ini, belum ada langkah tegas untuk mewujudkan hal itu.
Selat Sunda, Lombok, dan Makassar: Dibiarkan Tanpa Regulator Kuat
Tiga selat lainnya juga sangat vital. Selat Sunda menghubungkan Laut Jawa dan Samudra Hindia. Selat Lombok adalah bagian dari ALKI II dan menjadi jalur utama kapal besar yang tidak bisa melalui Selat Malaka. Sedangkan Selat Makassar menghubungkan Laut Sulawesi dengan Laut Jawa, menjadi jalur penting ekspor dan impor Indonesia Timur.
Meski semuanya masuk dalam jalur niaga global, pemerintah belum membangun sistem kontrol yang memadai. Tidak ada tarif keluar-masuk, tidak ada sistem pemantauan arus barang secara transparan, dan tidak ada integrasi pembayaran langsung ke kas negara. Padahal, dalam sistem pengelolaan lalu lintas laut modern, semua itu sangat memungkinkan diterapkan.
Alih-Alih Mengatur Laut, Pemerintah Justru Menekan Rakyat
Sangat disayangkan, ketika laut dibiarkan bebas, rakyat justru dikekang oleh berbagai aturan sempit. Pemerintah mengancam mengambil alih tanah rakyat jika tidak digarap selama dua tahun. Bahkan, warisan keluarga bisa berpindah tangan hanya karena dianggap tidak produktif.
Lebih lanjut, PPATK memerintahkan pembekuan rekening masyarakat yang tidak ada aktivitas selama tiga bulan. Di tengah krisis ekonomi, kebijakan seperti ini justru menyulut keresahan. Mengapa negara tidak memaksimalkan potensi sektor laut sebagai sumber devisa yang sah dan legal, ketimbang menyasar rakyat kecil yang sedang berjuang hidup?
Saatnya Ubah Strategi: Laut sebagai Aset, Bukan Jalur Gratis
Sudah waktunya pemerintah mengubah arah kebijakan. Sektor maritim harus menjadi fokus utama. Negara perlu memberlakukan retribusi lalu lintas laut seperti tol di darat. Setiap kapal yang melintasi empat selat strategis wajib membayar biaya sesuai tonase atau volume barang yang diangkut.
Langkah ini bukan hanya adil, tetapi juga realistis. Tidak menambah utang negara. Tidak merusak lingkungan. Dan yang terpenting, tidak membebani masyarakat miskin. Sistem pembayaran dapat dibuat satu pintu langsung ke rekening kas negara agar transparan dan akuntabel.
Dengan cara ini, Indonesia bisa mandiri secara fiskal dan meminimalkan ketergantungan pada pajak konsumtif rakyat. Setiap kapal asing yang mengeruk untung dari jalur kita wajib memberikan kontribusi.
Hukum Ambigu: Keadilan Dijadikan Alat Politik
Selain sektor ekonomi laut, ketidakadilan hukum juga menjadi sorotan besar. Pemberian amnesti terhadap Hasto Kristiyanto dan abolisi terhadap Tom Lembong menunjukkan kebijakan hukum yang tidak konsisten. Jika keduanya tidak bersalah, aparat yang memproses mereka seharusnya diperiksa.
Namun, hingga kini tidak ada kejelasan. Negara seperti enggan membuka aib sendiri. Padahal, masyarakat menuntut kejelasan dan akuntabilitas. Dalam hukum, tidak boleh ada pengecualian. Jika hukum hanya berlaku untuk kelompok tertentu, maka negara telah kehilangan moral.
Situasi ini memperkuat asumsi publik bahwa hukum hanya dijadikan alat politik. Rakyat semakin kehilangan harapan akan keadilan. Ketika ketidakpastian hukum berpadu dengan tekanan ekonomi, maka yang lahir adalah krisis kepercayaan terhadap negara.
Kesimpulan: Laut adalah Solusi, Bukan Rakyat yang Terus Dibebani
Indonesia memiliki kekayaan laut luar biasa. Empat jalur laut internasional melewati wilayah kita. Setiap hari, kapal niaga lintas negara berlalu lalang di lautan kita tanpa kontribusi berarti. Sudah saatnya pemerintah menghentikan kebijakan yang menyiksa rakyat kecil.
Fokuskan upaya untuk mengelola laut sebagai aset ekonomi nasional. Bangun sistem retribusi lalu lintas laut yang adil dan profesional. Perbaiki penegakan hukum agar konsisten dan tidak diskriminatif. Dan yang paling penting, lindungi hak rakyat, bukan malah menindas mereka dengan aturan yang mengada-ada.
Jika pemerintah berani mengambil langkah ini, maka negara akan mandiri tanpa perlu utang baru. Rakyat akan merasa dilindungi, bukan ditekan. Dan Indonesia akan menjadi kekuatan maritim dunia yang sesungguhnya, bukan hanya dalam pidato.