Oleh: Rohidin, SH., MH., M.Si., Sultan Patrakusumah VIII
Trustee Guarantee Phoenix INA 18
Hubungan Indonesia dan Malaysia selalu berjalan di atas bara api. Sengketa wilayah dan sejarah kelam kolonialisme masih menghantui. Sejak awal, hubungan ini tidak pernah netral. Ia selalu dibumbui kepentingan sepihak dan dominasi terselubung.
Konfrontasi 1963–1966: Penolakan Terhadap Proyek Neokolonialisme
Presiden Soekarno tidak pernah ragu. Ia melihat pembentukan Federasi Malaysia sebagai proyek neokolialisme Inggris. Oleh sebab itu, ia melawan. Ia mengirim pasukan ke Kalimantan, menyerukan “Ganyang Malaysia!”, dan menggugah semangat nasional.
Konflik bersenjata pun pecah. Tembakan melintasi batas. Para pejuang Indonesia berhadapan langsung dengan militer Malaysia dan Inggris. Walau begitu, semuanya berubah drastis setelah Soekarno digulingkan. Pemerintah Orde Baru mengubah arah, memilih jalur diplomasi. Federasi Malaysia pun resmi berdiri.
Namun, perubahan strategi itu melemahkan posisi Indonesia. Keberanian berganti dengan kompromi. Semangat membela kedaulatan berubah menjadi diplomasi lembek.
Sengketa Sipadan-Ligitan: Ketika Kita Terlalu Percaya pada Lembaga Internasional
Sipadan dan Ligitan dulunya hanyalah dua pulau kecil di perairan Kalimantan. Namun, ketika Malaysia mulai menancapkan pengaruhnya di sana, Indonesia baru tersadar. Sayangnya, kita tidak siap. Data lemah, strategi kabur, dan penguasaan fakta sejarah terlalu minim.
Mahkamah Internasional akhirnya menyerahkan dua pulau itu kepada Malaysia. Indonesia kalah di forum global. Tragisnya, bukan karena kita tidak memiliki hak, tetapi karena kita tidak mempersiapkan diri dengan benar.
Sebaliknya, Malaysia berhasil menyusun strategi. Mereka mengumpulkan data, membangun bukti, dan menggiring opini internasional. Kita terlalu percaya pada sistem hukum yang sering kali bias terhadap negara berkembang.
Blok Ambalat: Lahan Kaya Minyak yang Terus Diserobot
Ambalat bukan hanya perairan biasa. Wilayah ini kaya minyak dan strategis secara militer. Namun, Malaysia berulang kali memasuki zona ini secara ilegal. Mereka mengirim kapal perang, mengebor minyak, dan menantang kedaulatan Indonesia secara terang-terangan.
Alih-alih mengusir, pemerintah memilih berdialog. Perundingan berlangsung bertahun-tahun tanpa hasil konkret. Di sisi lain, Malaysia terus memperkuat klaimnya. Mereka bahkan memetakan wilayah kita seolah-olah itu milik mereka.
Situasi ini menunjukkan kelemahan kita dalam menjaga laut. Padahal, Indonesia adalah negara maritim terbesar di dunia. Seharusnya, kita menjadi tuan rumah, bukan korban eksploitasi.
Perjanjian Warisan Kolonial: Sumber Masalah yang Selalu Dibiarkan
Sebagian besar batas wilayah Indonesia dan Malaysia dibuat oleh penjajah. Inggris dan Belanda membagi wilayah sesuka hati. Ironisnya, Indonesia masih mengakui perjanjian itu sampai hari ini. Kita tidak pernah meninjau ulang secara serius. Akibatnya, Malaysia memanfaatkannya untuk memperkuat klaim wilayah.
Selain itu, kita kurang serius membangun dokumentasi sejarah. Padahal, catatan lokal dan adat punya kekuatan hukum tersendiri. Jika kita mau menggali, banyak bukti kultural dan historis yang bisa memperkuat posisi Indonesia.
Kepentingan Nasional vs Diplomasi ASEAN
Indonesia kerap menjadikan ASEAN sebagai alasan untuk menahan diri. Prinsip non-intervensi membuat kita enggan menekan Malaysia. Namun, prinsip itu sering kali hanya menguntungkan satu pihak. Ketika Malaysia melanggar batas, kita diam. Ketika kita bersuara, ASEAN meminta kompromi.
Kita harus menyadari bahwa diplomasi regional tidak boleh mengorbankan kedaulatan. Kepentingan nasional harus selalu menjadi prioritas utama. Jika tidak, kita hanya menjadi negara pelengkap dalam skema geopolitik Asia Tenggara.
Solusi Harus Tegas dan Berbasis Kekuatan
Indonesia tidak boleh lagi bertahan dalam pola lama. Kita harus membentuk satuan tugas khusus yang fokus pada penyelesaian batas wilayah. Tim ini harus terdiri dari pakar hukum internasional, militer, sejarahwan, dan ahli geospasial. Kita butuh pendekatan ilmiah, bukan sekadar diplomasi basa-basi.
Selain itu, Indonesia harus meningkatkan kekuatan laut. Kapal perang, radar, drone, dan sistem pengawasan laut harus diperkuat. Dunia hanya menghargai negara yang kuat. Jika kita tidak menunjukkan taring, wilayah kita akan terus dicaplok.
Pendidikan Geopolitik dan Nasionalisme Modern
Anak muda Indonesia harus tahu bahwa satu jengkal tanah itu berharga. Pendidikan geopolitik harus masuk kurikulum sekolah. Jangan sampai generasi muda lebih tahu tentang budaya luar daripada batas negaranya sendiri.
Selain itu, nasionalisme tidak boleh sekadar simbol. Ia harus hadir dalam kebijakan, anggaran, dan strategi jangka panjang. Kita harus membangun semangat cinta tanah air yang berakar pada pengetahuan, bukan hanya emosi.
Kedaulatan Tidak Pernah Bisa Ditawar
Sebagai Sultan Patrakusumah VIII dan Trustee Guarantee Phoenix INA 18, saya menegaskan bahwa kedaulatan adalah prinsip tertinggi bangsa. Kita tidak boleh menyerahkan satu milimeter pun wilayah tanpa perlawanan. Kita tidak boleh tunduk pada tekanan internasional jika itu merugikan bangsa.
Indonesia harus berdiri tegas. Diplomasi perlu, tetapi keberanian jauh lebih penting. Jika Malaysia terus menyerobot, kita wajib melawan. Bukan karena benci, tetapi karena cinta pada bangsa dan tanah air.
Penutup: Saatnya Indonesia Bangkit!
Kita bukan bangsa kecil. Kita adalah pewaris peradaban besar. Namun, jika kita terus diam, dunia akan menginjak-injak kehormatan kita. Saatnya Indonesia bangkit. Bukan hanya lewat kata-kata, tetapi lewat tindakan nyata. Jangan biarkan sejarah terulang. Jangan biarkan kedaulatan dijual murah di meja perundingan.