INDONESIA HARUS KEMBALI KE KONSTITUSI RIS. (photo-ilustrasi-ai)
Oleh: Rohidin, SH., MH., M.Si., Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18
Sejak 1945 hingga 2025, bangsa Indonesia sudah mencoba berbagai sistem ketatanegaraan. Kita menjalankan UUD 1945 asli, lalu Konstitusi RIS 1949, kemudian UUDS 1950, hingga UUD 1945 amandemen. Semua sistem itu berjalan silih berganti, tetapi masalah semakin menumpuk. Korupsi merajalela, hukum tumpul, hak rakyat terpinggirkan, dan ketimpangan antarwilayah makin dalam.
Apakah kita mau terus berpura-pura semuanya baik-baik saja? Jika jujur, kita harus mengakui kegagalan ini. Karena itu, kita butuh solusi fundamental, bukan sekadar tambal sulam.
Saya menegaskan: Indonesia harus berani mengevaluasi dan kembali pada semangat Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Federalisme ala RIS mampu menghadirkan keadilan politik, hukum, hak asasi, dan sosial budaya.
Amerika Serikat berhasil mempertahankan sistem federal selama lebih dari dua abad. Negara bagian berdaulat penuh mengatur hukum, pajak, hingga hak adat, sementara pusat mengatur pertahanan dan diplomasi. Presiden memimpin republik, tetapi negara bagian tetap punya kekuasaan luas.
Indonesia pernah mencoba konsep serupa melalui Konstitusi RIS. Sayangnya, Belanda dulu memaksakan RIS dengan tujuan melemahkan kesatuan nasional. Kesalahan terjadi pada konteks politik, bukan pada sistem federal itu sendiri.
Hari ini, ketika NKRI penuh ketimpangan, mengapa kita tidak berani kembali menghidupkan model federal yang lebih adil?
Sekarang Indonesia mengenal tiga model daerah: otonomi biasa, daerah istimewa, dan otonomi khusus (Otsus). Secara teori, sistem ini menyesuaikan keragaman. Namun kenyataannya, sistem ini menciptakan ketidakadilan.
Daerah dengan Otsus seperti Papua menerima triliunan rupiah setiap tahun, tetapi rakyat tetap miskin. Elit lokal menguasai dana dan memperkaya diri. Sementara itu, daerah istimewa seperti Yogyakarta menikmati hak khusus yang tidak dimiliki daerah lain. Lalu, daerah otonomi biasa hanya menerima sisa pembangunan.
Kondisi ini menimbulkan kecemburuan. Rakyat di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi mempertanyakan keadilan. Mengapa negara memperlakukan daerah secara berbeda? Bukankah semua rakyat berhak atas keadilan sosial?
Konstitusi RIS bisa mengembalikan kehormatan hak ulayat. Hak ulayat berarti hak kolektif masyarakat adat atas tanah, hutan, dan sumber daya alam. Hari ini, korporasi besar sering menginjak hak ulayat. Pemerintah memberi izin tambang, perkebunan, atau proyek besar, lalu rakyat adat terusir dari tanah leluhur.
Kalau RIS kembali, negara bagian bisa mengatur hukum adat dan melindungi hak ulayat. Rakyat adat bisa mengelola tanah sendiri, bukan sekadar jadi korban pembangunan. Sistem federal akan menutup ruang mafia tanah dan oligarki nasional.
Dengan demikian, masyarakat adat tidak lagi dianggap beban, melainkan subjek kedaulatan. Hak mereka hidup berdampingan dengan hukum negara.
Kita tidak sedang bernostalgia. RIS menawarkan jalan tengah untuk menata masa depan. Sistem kesatuan terbukti memusatkan kekuasaan berlebihan. Amandemen UUD 1945 justru melemahkan marwah konstitusi asli. Demokrasi berubah menjadi pesta uang, melahirkan pemimpin kompromi, bukan negarawan.
Federalisme ala RIS mendorong tanggung jawab nyata. Negara bagian tidak bisa menyalahkan pusat, karena mereka mengelola sendiri pajak, pendidikan, hukum adat, hingga sumber daya alam. Sementara itu, pusat tetap menjaga pertahanan dan moneter. Model ini lebih adil dan realistis.
Sebagian orang menuduh RIS berbahaya karena bisa memecah bangsa. Tuduhan itu hanya warisan propaganda lama. Faktanya, ketidakadilan sistem kesatuan justru memecah bangsa. Konflik di Papua, Aceh, dan Maluku lahir dari ketimpangan pembangunan.
Lebih baik kita memberi ruang keadilan lewat federalisme daripada mempertahankan kesatuan semu yang penuh luka. Dengan RIS, daerah merasa memiliki republik, bukan sekadar menjadi objek pusat.
Kita harus jujur. Sistem politik, hukum, dan sosial budaya Indonesia sedang sakit. Otsus, daerah istimewa, dan otonomi biasa hanya menciptakan kelas baru yang tidak adil. Hak ulayat rakyat adat terinjak. Hukum berubah menjadi alat penguasa.
Karena itu, saya menyerukan: saatnya kita berani kembali ke semangat Konstitusi RIS. Kita tidak mundur, justru melompat ke depan. Federalisme ala RIS memberi keadilan bagi daerah, perlindungan bagi adat, dan kekuatan bagi republik.
Dayeuh Kolot, Info Burinyay– Perhimpunan Remaja Masjid (PRIMA) Miftahul Jannah menggelar peringatan Maulid Nabi Muhammad…
Cicalengka, Info Burinyay – Bupati Bandung, Dr. H.M. Dadang Supriatna, S.Ip., M.Si, menghadiri peringatan Maulid…
Soreang, Info Burinyay - Komite Olahraga Masyarakat Indonesia (KORMI) Kabupaten Bandung sukses menggelar ajang lari…
Soreang, Info Burinyay — Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disdagin) Kabupaten Bandung menegaskan dukungan penuh terhadap…
Karawang, Info Burinyay – Ketua Komisi I DPRD Provinsi Jawa Barat, H. Rahmat Hidayat Djati,…
Rancaekek, Info Burinyay — Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi momentum berbagi kebahagiaan bagi anak-anak…
This website uses cookies.
Leave a Comment