Tasikmalaya, Info Burinyay – Rohidin, SH., MH., M.Si., yang dikenal sebagai Sultan Patrakusumah VIII dan Trust of Guarantee Phoenix INA 18, memaparkan alasan utama penerapan sistem tanam paksa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kebijakan ini mencerminkan babak kelam dalam sejarah Indonesia, di mana rakyat memikirkan banyak hal demi keuntungan ekonomi kolonial.
Latar Belakang Penerapan Tanam Paksa
Pada abad ke-19, pemerintah Belanda menghadapi berbagai tekanan yang membuat mereka memaksakan kebijakan tanam paksa kepada rakyat Indonesia. Faktor-faktor ekonomi, politik, dan sosial mendorong pengambil keputusan kolonial untuk memanfaatkan tanah jajahan secara maksimal demi menyelamatkan keuangan negara.
1. Krisis Keuangan Belanda: Kas Kosong dan Utang Menupuk
Pemerintah Belanda mengalami defisit keuangan besar akibat perang, salah satunya Perang Jawa (1825–1830) yang menelan biaya sekitar 20 juta gulden. Selain itu, pejabat kolonial yang korup dan tidak efisien semakin memperparah kondisi keuangan negara.
“Kolonial mencari cara cepat untuk mengisi kas negara mereka,” jelas Rohidin. Sayangnya, rakyat Indonesia menjadi korban kebijakan tersebut. Pemerintah memaksa petani untuk menanam tanaman ekspor seperti kopi, nila, dan tebu demi menutup defisit anggaran.
2. Dampak Krisis Ekonomi Eropa
Awal abad ke-19, Eropa mengalami penurunan ekonomi global. Harga komoditas jatuh, sementara permintaan pasar Eropa juga melemah. Akibatnya, pendapatan perdagangan Belanda ikut merosot drastis.
“Krisis di Eropa membuat Belanda semakin bergantung pada tanah jajahan sebagai sumber pendapatan,” ujar Rohidin. Kondisi ini mendorong eksploitasi yang lebih sistematis terhadap tanah dan tenaga kerja rakyat Indonesia.
3. Dinamika Politik Global yang Membebani Belanda
Situasi politik di Eropa juga memperburuk kondisi Belanda. Perang-perang besar, seperti yang dipimpin Napoleon Bonaparte, menimbulkan beban anggaran yang besar. Selain itu, Belanda kehilangan Belgia pada tahun 1830–1831.
“Belgia adalah pusat industri maju pada masa itu. Kehilangan wilayah ini menjadi pukulan besar bagi ekonomi Belanda,” ungkap Rohidin. Untuk mengatasi kehilangan tersebut, Belanda memanfaatkan koloni mereka sebagai sumber penghasilan utama.
4. Kegagalan Kebijakan Liberalisasi
Sebelum sistem tanam paksa, pemerintah kolonial mencoba pendekatan liberalisasi ekonomi untuk memaksimalkan keuntungan dari tanah jajahan. Namun, kebijakan ini gagal memberikan hasil yang signifikan.
“Penanaman kopi sebelumnya tidak mampu memenuhi kebutuhan kas Belanda,” kata Rohidin. Akibatnya, pemerintah kolonial mengalihkan fokus pada kebijakan tanam paksa yang lebih ketat. Mereka percaya sistem ini akan lebih efisien, meskipun dampaknya sangat merugikan rakyat.
Dampak Sistem Perkebunan Paksa
Kebijakan tanam paksa memberikan keuntungan besar bagi Belanda, tetapi rakyat Indonesia harus menanggung penderitaan yang berat. Petani kehilangan hak atas tanah mereka, sementara kelaparan meluas karena hasil panen harus diserahkan kepada pemerintah kolonial.
“Rakyat memaksa mereka untuk menanam komoditas ekspor yang tidak dapat mereka konsumsi. Akibatnya, mereka mengalami kelaparan di tanah mereka sendiri,” ungkap Rohidin.
Selain itu, retakan sosial semakin melebar. Para pejabat kolonial hidup dengan nyaman, sedangkan rakyat harus bekerja keras tanpa mendapat ketidakseimbangan yang layak.
Pelajaran Penting dari Sejarah
Sistem tanam paksa menunjukkan dampak buruk kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Rohidin mengingatkan masyarakat untuk belajar dari sejarah agar tidak ada lagi bentuk berpikir seperti ini di masa depan.
“Kita harus memastikan bahwa pembangunan ekonomi dilakukan dengan adil dan berkelanjutan,” tegasnya. Ia juga menekankan pentingnya menjaga kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama dalam setiap kebijakan.
Kesimpulan
Sistem tanam paksa menjadi simbol kekejaman kolonialisme yang meninggalkan luka mendalam bagi rakyat Indonesia. Dengan memahami latar belakang dan dampaknya, generasi masa kini diharapkan dapat mengambil pelajaran penting dari peristiwa ini.
“Kesadaran sejarah adalah langkah awal untuk mencegah terulangnya terjadi di masa depan,” tutup Rohidin.