Tasikmalaya, Info Burinyay – Kabupaten Tasikmalaya merupakan daerah yang kaya akan warisan budaya. Untuk menjaga kelestariannya, pemerintah daerah telah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya. Namun, implementasi kebijakan ini masih menemui berbagai kendala.
Hal tersebut terungkap dalam penelitian tesis Rohidin, mahasiswa Program Pascasarjana STIA YPPT Priatim Tasikmalaya, yang berjudul “Analisis Implementasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya di Kabupaten Tasikmalaya.”
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif dan teknik studi kasus. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memahami sejauh mana implementasi Perda tersebut berjalan di lapangan, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan ini dipengaruhi oleh empat komponen utama, yakni kebijakan yang diidealkan, kelompok sasaran, organisasi pelaksana, serta faktor lingkungan.
Regulasi yang Rumit Menghambat Implementasi
Perda Nomor 1 Tahun 2014 merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Untuk memperkuat implementasinya, pemerintah daerah juga menerbitkan Peraturan Bupati Nomor 65 Tahun 2023. Regulasi ini mengatur pedoman teknis terkait registrasi nasional, pelestarian, serta pengelolaan cagar budaya. Namun, dalam praktiknya, implementasi regulasi ini dinilai masih terlalu rumit, terutama dalam aspek administratif.
Salah satu kendala utama yang ditemukan adalah ketentuan dalam Pasal 9 Peraturan Bupati. Ketentuan ini menyatakan bahwa pencarian cagar budaya hanya boleh dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain itu, masyarakat yang ingin melakukan pencarian harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari bupati. Aturan ini justru dianggap menghambat partisipasi publik dalam pelestarian cagar budaya, karena proses perizinannya dinilai panjang dan berbelit.
Minimnya Sosialisasi dan Edukasi
Kelompok sasaran utama dalam kebijakan ini adalah pemilik dan pengelola cagar budaya, serta masyarakat umum. Namun, penelitian ini menemukan bahwa masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui keberadaan Perda tersebut. Minimnya sosialisasi dan edukasi menjadi salah satu kendala terbesar dalam implementasi kebijakan ini.
Banyak penggiat budaya yang berupaya melestarikan cagar budaya, tetapi mereka merasa bahwa prosedur pendaftaran dan pendataan terlalu rumit. Hal ini menghambat proses inventarisasi cagar budaya yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Dengan tidak adanya pemahaman yang memadai, banyak potensi situs cagar budaya yang belum terdaftar secara resmi, sehingga rawan mengalami kerusakan atau bahkan hilang.
Keterbatasan Sumber Daya di Organisasi Pelaksana
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya menjadi organisasi pelaksana utama dalam kebijakan ini. Namun, kinerja dinas ini dinilai belum optimal dalam mengimplementasikan Perda Nomor 1 Tahun 2014. Beberapa masalah yang ditemukan antara lain adalah belum terinventarisasinya situs cagar budaya secara menyeluruh, kurangnya pemanfaatan teknologi informasi untuk publikasi dan promosi, serta keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia.
Dalam laporan penelitian, disebutkan bahwa alokasi anggaran untuk pengelolaan dan pelestarian cagar budaya hanya mencapai 8% dari total anggaran belanja dinas. Angka ini dinilai sangat tidak mencukupi untuk menjalankan program pelestarian dengan optimal. Dengan anggaran yang terbatas, berbagai program yang berkaitan dengan pelestarian cagar budaya menjadi sulit untuk direalisasikan secara efektif.
Kesadaran Masyarakat yang Rendah
Selain faktor regulasi dan sumber daya, aspek sosial juga menjadi kendala dalam implementasi kebijakan ini. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pelestarian cagar budaya masih tergolong rendah. Banyak masyarakat yang menganggap cagar budaya hanya sebagai bangunan tua yang tidak memiliki nilai penting. Selain itu, belum adanya kolaborasi dengan investor swasta dalam pengembangan cagar budaya juga menjadi kendala tersendiri.
Dari sisi politik, perubahan nomenklatur SKPD dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan menjadi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan berdampak pada prioritas kebijakan. Fokus utama dinas lebih banyak diarahkan pada bidang pendidikan, sehingga aspek kebudayaan menjadi kurang mendapat perhatian yang optimal.
Faktor Pendorong dan Penghambat
Meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan, penelitian ini juga menemukan beberapa faktor pendorong yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan ini. Keberadaan kelompok pengelola dan pelestari cagar budaya menjadi salah satu faktor kunci. Selain itu, dukungan dari kebijakan pemerintah pusat dan pemanfaatan teknologi informasi juga menjadi faktor yang dapat memperkuat implementasi kebijakan.
Namun, masih ada faktor penghambat yang perlu segera diatasi. Keterbatasan sumber daya manusia, alokasi anggaran yang tidak mencukupi, kemitraan yang belum optimal, serta rendahnya kesadaran masyarakat menjadi tantangan utama yang harus segera ditangani agar kebijakan ini dapat berjalan lebih efektif.
Rekomendasi untuk Meningkatkan Efektivitas Implementasi
Berdasarkan hasil penelitian, Rohidin memberikan beberapa rekomendasi strategis untuk meningkatkan efektivitas implementasi Perda Nomor 1 Tahun 2014. Pertama, perlu dilakukan sinkronisasi regulasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan kebijakan dapat berjalan secara konsisten. Kedua, pemerintah daerah disarankan untuk membentuk Dinas Kebudayaan yang secara khusus menangani pelestarian dan pengelolaan cagar budaya. Dengan demikian, kebijakan yang berfokus pada kebudayaan dapat lebih maksimal.
Ketiga, perlu adanya ruang kemitraan dengan sektor swasta, akademisi, serta lembaga non-pemerintah. Kolaborasi ini dapat membantu dalam pendanaan, riset, serta pengembangan teknologi untuk mendukung pelestarian cagar budaya. Keempat, pemerintah daerah perlu mengeluarkan instruksi bupati kepada pemerintah desa agar membuat Peraturan Desa tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya. Dengan adanya regulasi di tingkat desa, kesadaran masyarakat dapat meningkat dan pelaksanaan kebijakan dapat lebih efektif.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa implementasi Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya di Kabupaten Tasikmalaya masih menghadapi berbagai kendala. Regulasi yang terlalu rumit, minimnya sosialisasi, keterbatasan sumber daya, serta rendahnya kesadaran masyarakat menjadi tantangan utama dalam pelaksanaan kebijakan ini.
Namun, dengan adanya strategi perbaikan, sinergi antara pemerintah, masyarakat, akademisi, serta sektor swasta, diharapkan upaya pelestarian dan pengelolaan cagar budaya dapat berjalan lebih optimal. Dengan demikian, warisan budaya yang ada di Kabupaten Tasikmalaya dapat tetap terjaga dan diwariskan kepada generasi mendatang.