Info Burinyay
Opini

Rantai Kebijakan Yang Mengikat Masyarakat

Rohidin, SH., MH., M.Si., Sultan Patrakusumah VIIl Trust Of Guarantee Phoenix Ina 18

Ditulis oleh Sultan Patrakusumah VIII Trust Guarantee Phoenix Ina 18

Tasikmalaya, Info Burinyay – Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengumumkan peluncuran Program Koperasi Merah Putih. Pemerintah menyampaikan bahwa program ini akan memperkuat ekonomi desa melalui pinjaman lunak senilai Rp550 triliun yang disalurkan ke seluruh Indonesia.

Banyak pihak menganggap program ini sebagai langkah strategis untuk menggerakkan ekonomi rakyat kecil. Namun, sebagian pengamat justru melihat program tersebut sebagai bentuk jebakan ekonomi baru. Kritik datang karena pemerintah tidak hanya menyalurkan dana, tetapi juga menetapkan bunga, tenggat waktu, dan mekanisme pelunasan yang berisiko menjerat rakyat kecil dalam utang jangka panjang.

Sultan Patrakusumah VIII, pengamat kebijakan publik, menyampaikan kekhawatirannya secara terbuka. Ia menilai bahwa pemerintah tidak lagi menjalankan fungsi pelindung, melainkan mulai berperan sebagai pengusaha yang memperlakukan rakyat sebagai nasabah pinjaman.

Pemerintah Berubah Peran: Dari Pengatur Menjadi Pemain

Negara seharusnya menciptakan sistem yang memperkuat rakyat, bukan sistem yang memperdagangkan kesulitan mereka. Sultan menyebut bahwa negara kini tidak hanya membuat kebijakan, tetapi juga memposisikan diri sebagai pelaku usaha pembiayaan.

Alih-alih memperluas bantuan sosial, pemerintah memilih menyalurkan pinjaman berbunga melalui koperasi. Langkah ini mengaburkan batas antara kebijakan publik dan kepentingan ekonomi. Ketika negara ikut bermain dalam wilayah bisnis, maka rakyat tidak lagi melihat negara sebagai pelindung, melainkan sebagai penagih.

Pinjaman Lunak atau Perangkap Ekonomi?

Program ini memang menawarkan skema “lunak”. Namun, di balik istilah itu, rakyat tetap diwajibkan membayar cicilan dan bunga setiap bulan. Banyak masyarakat yang belum memiliki pemahaman kuat tentang sistem keuangan modern. Mereka hanya melihat nominal pinjaman, tanpa mempertimbangkan risiko yang tersembunyi di baliknya.

Sultan menegaskan bahwa koperasi negara tidak berbeda jauh dengan rentenir jika pemerintah menagih utang dari rakyat tanpa memberikan perlindungan yang setara. Rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar malah harus mengatur arus kas rumah tangga demi membayar cicilan bulanan.

Baca Juga
Kombinasi Ideal dalam Dinamika Politik: Sahrul Gunawan dan Gun Gun Gunawan Bersiap Tantang Incumbent

Menurutnya, negara seharusnya menyediakan subsidi atau penghapusan utang, bukan memperluas sistem pinjaman kepada kelompok yang rentan.

Negara Tidak Lagi Menjamin, Tapi Mengikat

Konstitusi Indonesia mewajibkan negara menjamin kehidupan rakyat. Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa perekonomian disusun berdasarkan asas kekeluargaan dan bertujuan menciptakan kesejahteraan umum.

Namun, pemerintah kini justru menawarkan skema pinjaman berbunga kepada masyarakat miskin. Ini bukan bentuk jaminan, tetapi instrumen ekonomi yang berisiko memiskinkan mereka secara permanen.

Alih-alih menyediakan layanan dasar gratis, negara mendorong rakyat masuk ke dalam lingkaran utang resmi. Akibatnya, masyarakat tidak hanya kehilangan aset, tetapi juga kehilangan kendali atas penghasilannya sendiri.

Pengusaha dalam Kekuasaan: Ancaman Demokrasi Sosial

Sultan menilai kehadiran pengusaha di posisi kunci pemerintahan sebagai ancaman serius. Saat pelaku bisnis memimpin negara, kebijakan yang muncul cenderung menguntungkan kelompok modal, bukan rakyat.

Ia menyebut bahwa negara kini menjalankan logika bisnis dalam kebijakan publik. Pemerintah menciptakan pasar utang rakyat dan membungkusnya dengan simbol nasionalisme. Koperasi Merah Putih terdengar patriotik, tetapi di balik itu tersembunyi mekanisme ekonomi yang eksploitatif.

Sultan menilai, kondisi ini menjadikan rakyat sebagai sapi perah. Pemerintah memanfaatkan rasa percaya masyarakat terhadap negara untuk menanamkan kontrol finansial dalam kehidupan sehari-hari.

Rakyat Tergantung, Negara Diuntungkan

Pemerintah mengklaim bahwa pinjaman ini akan menggerakkan usaha mikro dan ekonomi desa. Namun, kenyataan di lapangan bisa berbeda. Rakyat yang terjerat utang justru akan bekerja keras hanya untuk melunasi cicilan.

Ketika masyarakat terlalu bergantung pada pinjaman, maka pemerintah mendapatkan kendali ekonomi dan politik sekaligus. Skema ini menciptakan ketergantungan jangka panjang dan mematikan inisiatif mandiri masyarakat.

Sultan menyebut kondisi ini sebagai bentuk kerja paksa gaya baru. Negara tidak mengangkat senjata, tetapi menggunakan sistem pinjaman untuk mengendalikan masyarakat.

Baca Juga
Runtuhnya Uni Soviet: Dampak dan Perubahan Besar dalam Geopolitik Dunia

Mengapa Kita Perlu Waspada?

Koperasi Merah Putih memunculkan semangat nasionalisme dalam narasinya. Namun, rakyat harus tetap waspada. Nama yang patriotik tidak selalu mencerminkan niat mulia.

Jika rakyat tidak kritis, maka mereka akan menyerahkan kedaulatan ekonomi secara perlahan. Negara yang seharusnya melindungi, justru menjerumuskan. Ketika pinjaman dijadikan alat kontrol, maka demokrasi pun bisa tergadaikan.

Sultan mengajak rakyat untuk berpikir jernih. Ia mengingatkan bahwa rakyat memiliki hak untuk menolak dan menyuarakan keberatan. Masyarakat berhak hidup merdeka, tanpa tekanan ekonomi dari negaranya sendiri.

Kesimpulan: Rakyat Butuh Perlindungan, Bukan Pinjaman

Program Koperasi Merah Putih memang menjanjikan modal usaha, tetapi tidak memberikan perlindungan jangka panjang. Pemerintah seharusnya menciptakan sistem sosial yang menghapus kemiskinan, bukan memperpanjangnya melalui skema utang legal.

Sultan menyampaikan pesan tegas di akhir tulisannya:
“Kalau negara berubah jadi rentenir, maka rakyat kehilangan tempat mengadu. Jangan biarkan kemiskinan dijadikan proyek ekonomi oleh pemimpin yang menyamar sebagai penyelamat.”

Related posts

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.