Oleh: Rohidin, SH., MH., M.Si. – Sultan Patrakusumah VIII
Trustee Guarantee Phoenix INA 18
Kekerasan politik bukan sekadar amarah yang meledak. Ia hadir sebagai penghancuran multi-dimensi. Rezim yang berkuasa merobek harga diri rakyat, meruntuhkan legitimasi hukum, dan menghancurkan posisi sosial. Ketika penguasa memakai paksaan, korban jatuh bukan hanya dalam angka, melainkan dalam martabat. Proses hukum pun sering berubah menjadi alat pembenaran, bukan pelindung.
Proporsionalitas Kerusakan
Setiap aksi politik brutal menimbulkan pertanyaan: apakah kerusakan itu sebanding dengan alasan yang dipakai? Faktanya, tidak ada kerusakan yang benar-benar proporsional. Penguasa selalu mengklaim sebagai respons, tetapi korban selalu lebih besar daripada manfaat. Pada akhirnya, rakyatlah yang membayar dengan darah dan trauma.
Tiga Tipe Kekerasan Politik
Pertama, kekerasan kreatif dari sayap kiri. Kelompok ini mengklaim ingin menciptakan tatanan baru. Namun mereka menempuh jalur kekerasan. Mereka memaksa perubahan dengan darah dan intimidasi.
Kedua, kekerasan pemeliharaan. Negara memakai aparat untuk mempertahankan status quo. Polisi, militer, bahkan lembaga hukum bertindak sebagai benteng kekuasaan. Mereka menindas rakyat demi melanggengkan rezim.
Ketiga, kekerasan restoratif dari sayap kanan. Kelompok ini berusaha mengembalikan masa lalu yang dianggap ideal. Mereka menghancurkan struktur yang sudah ada. Ironinya, mereka menimbulkan luka baru dalam tubuh bangsa.
Sumber Kekerasan Politik
Ketidakpuasan menjadi akar utama. Rakyat kehilangan kepercayaan, aspirasi terkunci, dan keadilan tinggal slogan. Dari situ, bara muncul.
Selanjutnya, bara itu berubah menjadi politisasi pembangkangan. Massa yang awalnya diam mulai bersatu. Mereka belajar dari aksi sebelumnya dan mengembangkan pola perlawanan.
Kondisi fisiologis ikut mendorong. Manusia memiliki batas kesabaran. Penindasan yang terus menumpuk menyalakan amarah. Intensitas kebencian akhirnya meledak.
Di tahap terakhir, lahirlah keseimbangan perang. Rezim mengerahkan aparat, sementara oposisi menggalang massa dan jaringan. Pertarungan pun berubah menjadi lingkaran kekerasan tanpa akhir.
Strategi Negara Menghadapi
Negara sering salah memilih jalan. Pertama, rezim mendorong perubahan konservatif. Mereka memperketat aturan demi menutup ruang aspirasi.
Kedua, penguasa melakukan manipulasi fakta. Mereka mengatur data, mengendalikan media, dan membalik narasi.
Ketiga, pemerintah menciptakan representasi semu. Forum rakyat hanya menjadi panggung boneka.
Keempat, rezim memilih mengabaikan realitas. Mereka menutup mata terhadap penderitaan. Padahal, sikap ini menyiapkan ledakan yang lebih dahsyat.
Amerika dan Prancis: Dua Pola
Amerika menghadirkan wajah modern kekerasan. Penembakan massal, polarisasi ekstrem, dan politik identitas menjadi bukti rapuhnya demokrasi. Kapitalisme membiarkan kebebasan berubah menjadi alat penghancur.
Prancis menampilkan pola jalanan. Rakyat turun ke jalan setiap kali ketidakpuasan meledak. Polisi menembakkan gas air mata, rakyat melempar batu. Kedua pihak terjebak dalam lingkaran saling serang.
Malaysia: Gelombang Awal
Malaysia mulai memasuki fase krusial. Rakyat menuntut pemerintahan yang bersih. Demonstrasi pun muncul. Jika rezim memilih represi, Malaysia bisa mengikuti jejak Thailand atau Myanmar. Gelombang kecil akan berubah menjadi badai kekerasan.
Qatar dan Israel: Kekerasan Brutal
Israel membombardir Qatar dengan alasan keamanan. Padahal, serangan itu menghancurkan infrastruktur, menewaskan rakyat sipil, dan memusnahkan ruang hidup. Dunia hanya menyaksikan. Para penguasa internasional lebih banyak berteriak daripada bertindak.
Inggris: Krisis Menjadi Pintu
Inggris kini terhimpit krisis ekonomi. Inflasi tinggi, harga energi melonjak, dan pengangguran meluas. Situasi ini menciptakan tanah subur bagi perlawanan. Jika pemerintah gagal memberi solusi, krisis ekonomi akan bertransformasi menjadi krisis politik. Dari sana, kekerasan jalanan tinggal menunggu waktu.
Penutup
Kekerasan politik adalah wajah gelap demokrasi global. Amerika, Prancis, Malaysia, Qatar, hingga Inggris menunjukkan pola serupa: ketidakpuasan melahirkan represi, represi melahirkan pembangkangan, dan pembangkangan melahirkan kehancuran.
Sampai kapan dunia menutup mata? Jika negara terus mengunci aspirasi, menipu dengan manipulasi, dan mengabaikan fakta, lingkaran kekerasan tidak akan pernah berhenti. Sejarah membuktikan, kekerasan hanya memperbesar luka dan trauma. Demokrasi tanpa keadilan hanyalah topeng busuk. Dan rakyat yang ditipu tidak akan diam selamanya.