KIM-PG Jawa Barat Gelar Diskusi Kebijakan Fiskal: Dorong Generasi Muda Melek Keuangan dan UMKM Naik Kelas

KIM-PG Jawa Barat Gelar Diskusi Kebijakan Fiskal Dorong Generasi Muda Melek Keuangan dan UMKM Naik Kelas, Kamis 18 September 2025. (photo-rph)

Bandung, Info Burinyay – Keluarga Intelektual Muda Partai Golkar (KIM-PG) Jawa Barat menggelar diskusi publik bertajuk “Pengaruh Kebijakan Fiskal terhadap Masyarakat” pada Kamis (18/9). Acara ini menghadirkan sejumlah narasumber dari kalangan akademisi, praktisi, serta tokoh masyarakat yang menyoroti arah kebijakan fiskal Indonesia pasca-rotasi Menteri Keuangan.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua KIM-PG Jawa Barat Yosi Wihara, SE., bersama pengamat ekonomi Dadi Palgunadi serta Rizky Prasetya Handani, SE., MM. memaparkan pandangan dan gagasan terkait dampak kebijakan fiskal pada masyarakat, terutama bagi generasi muda dan pelaku UMKM.

Acara dibuka oleh Rizky Prasetya Handani, SE., MM., yang menegaskan pentingnya ruang edukasi publik tentang kebijakan fiskal. Menurutnya, generasi muda harus memahami bahwa keputusan fiskal bukan sekadar urusan angka, melainkan menyangkut langsung kehidupan masyarakat sehari-hari.

“Kebijakan fiskal itu berdampak nyata pada masyarakat. Misalnya melalui pembiayaan pembangunan, penciptaan lapangan kerja, hingga keberlangsungan UMKM. Generasi muda harus paham ini, karena mereka calon penggerak bangsa,” ujar Rizky.

Transisi dari Sri Mulyani ke Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, memunculkan diskusi hangat. Kebijakan injeksi fiskal sebesar Rp200 triliun ke bank-bank Himbara dianggap sebagai langkah strategis yang berbeda. Menurut Rizky, penting bagi masyarakat untuk melihat sisi positif dan peluang dari kebijakan baru ini.

Narasumber Dadi Palgunadi menilai bahwa kebijakan fiskal era Purbaya lebih menekankan pada pendekatan kerakyatan. Suntikan dana ke sektor strategis dan UMKM diharapkan mampu mendorong perputaran ekonomi.

“Ada sekitar 16 ribu koperasi Merah Putih yang akan mendapat suntikan modal. Jika setiap koperasi minimal menyerap lima tenaga kerja, maka ribuan lapangan kerja baru tercipta. Ini multiplier effect nyata,” jelas Dadi.

Ia menambahkan, alokasi dana juga diarahkan ke sektor pertanian, kesehatan, perikanan, hingga program pemenuhan gizi gratis (BGN). Menurutnya, hal ini menjadi sinyal positif karena fiskal benar-benar menyentuh kehidupan masyarakat kecil.

Transisi ke arah kebijakan ini, lanjut Dadi, menunjukkan adanya perbedaan mazhab antara pendekatan Sri Mulyani yang lebih teknokratis dengan Purbaya yang lebih membumi.

Dalam paparannya, Dadi menguraikan bahwa suntikan Rp200 triliun berpotensi menciptakan perputaran ekonomi hingga Rp10 triliun di masyarakat. Hal ini terjadi karena setiap dana yang masuk ke sektor riil memicu rantai kebutuhan baru.

“Peternak ayam, misalnya, membutuhkan kandang, pakan, bibit, dan tenaga kerja tambahan. Semua itu menimbulkan efek berantai bagi sektor lain. Jadi manfaatnya luas sekali,” ujarnya.

Selain itu, dampak kebijakan ini juga terasa pada tingkat suku bunga. Dadi menilai, dengan likuiditas perbankan yang melimpah, persaingan antarbank akan menurunkan bunga kredit. Masyarakat pun lebih percaya diri dalam berbelanja dan berinvestasi.

Sementara itu, Yosi Wihara, SE., menyoroti sektor pariwisata sebagai instrumen efektif untuk meningkatkan devisa dan menyerap tenaga kerja. Ia menilai, ketergantungan pada pajak domestik seringkali menimbulkan resistensi masyarakat.

“Kalau turis asing datang, mereka belanja langsung di sini. Itu uang segar masuk ke masyarakat tanpa beban pajak tambahan. Sektor pariwisata bisa jadi solusi jangka pendek,” kata Yosi.

Yosi juga mendorong optimalisasi tenaga kerja migran ke negara-negara dengan upah tinggi, seperti Jepang dan Korea Selatan. Menurutnya, remitansi dari pekerja migran akan memperkuat perekonomian desa-desa di Indonesia.

Tantangan Birokrasi dan Reformasi

Namun Yosi mengingatkan bahwa implementasi kebijakan fiskal tidak bisa dilepaskan dari kualitas birokrasi. Ia menyebut masih banyak daerah yang 60 persen APBD-nya habis untuk biaya rutin pegawai, sehingga pembangunan publik hanya mendapat porsi kecil.

“Kalau birokratnya tidak sinkron dengan kebijakan pusat, maka program bagus pun akan mandek. Karena itu, reformasi birokrasi adalah bagian dari kebijakan fiskal,” tegasnya.

Ia bahkan menyarankan adanya intelijen ekonomi di bawah Presiden Prabowo untuk memantau langsung kondisi lapangan. Dengan begitu, laporan yang diterima pemerintah pusat tidak sekadar “laporan Bapak Senang”, melainkan data faktual yang bisa jadi dasar keputusan.

Kembali menegaskan peran edukasi, Rizky mengingatkan bahwa diskusi publik seperti ini harus menyasar generasi muda. Ia mendorong anak muda untuk memahami istilah fiskal dan moneter agar tidak asing dengan istilah makroekonomi.

“Kalau moneter itu kebijakan Bank Indonesia mengatur uang beredar, inflasi, dan stabilitas rupiah. Sedangkan fiskal adalah kebijakan pemerintah melalui APBN, pajak, dan belanja negara. Dua-duanya penting, dan anak muda harus paham perbedaan ini,” ungkap Rizky.

Ia menambahkan, pemahaman dasar ini akan membuat generasi muda lebih siap menghadapi tantangan ekonomi. Termasuk peluang UMKM digital, ekonomi kreatif, dan penguatan koperasi yang sedang tumbuh.

Menanggapi pertanyaan mengenai sektor prioritas APBN, Dadi Palgunadi menyebut bahwa pemerintah harus berhati-hati dalam mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi. Menurutnya, target 8 persen bisa berbahaya jika tidak diimbangi dengan kestabilan inflasi.

“Kalau uang dicetak terlalu banyak, inflasi bisa meledak. Maka suntikan fiskal harus sejalan dengan daya beli masyarakat. Jangan hanya supply, tapi harus sesuai demand,” jelasnya.

Ia menekankan pentingnya sektor pertahanan, pangan, serta industri padat karya sebagai prioritas. Hal ini karena ketiganya berkaitan erat dengan stabilitas negara.

“Pangan itu sangat strategis. Dalam kondisi apapun, perut rakyat harus kenyang. Kalau pangan bermasalah, stabilitas negara ikut goyah,” tambah Dadi.

Sebagai penutup, Rizky kembali menekankan bahwa kebijakan fiskal harus dilihat dari kacamata pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Ia mengajak generasi muda untuk tidak hanya jadi penonton, tetapi aktif menjadi pelaku perubahan.

“Anak muda jangan hanya diam. Pahami kebijakan fiskal, terlibat dalam koperasi, kembangkan UMKM, manfaatkan peluang digital. Karena ekonomi bangsa ini akan kuat kalau generasi mudanya punya daya juang,” seru Rizky.

Ia juga menekankan bahwa UMKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Dengan adanya dukungan fiskal, UMKM harus bisa naik kelas, memperluas pasar, dan membuka lapangan kerja baru.

Diskusi KIM-PG Jawa Barat ini memperlihatkan betapa pentingnya kebijakan fiskal dalam kehidupan masyarakat. Dari suntikan dana koperasi, pengembangan pariwisata, reformasi birokrasi, hingga pemberdayaan generasi muda, semua menjadi bagian dari ekosistem besar ekonomi Indonesia.

Transisi kepemimpinan di Kementerian Keuangan membawa warna baru. Harapannya, kebijakan fiskal yang lebih kerakyatan mampu menghadirkan pemerataan, memperkuat UMKM, dan menumbuhkan optimisme generasi muda.

“Semoga dengan banyak uang yang beredar di masyarakat, pertumbuhan ekonomi bisa lebih cepat, lapangan kerja bertambah, dan keadilan sosial semakin nyata,” tutup Rizky.

Related posts

Gelar Karya PKBM dan Launching Koperasi Konsumen Sejahtera FK-PKBM Kabupaten Bandung

BPJS Ketenagakerjaan Bojongsoang Catat 199 Ribu Tenaga Kerja Terlindungi di Kabupaten Bandung

LKP Asyima Nusantara Gelar Pembukaan Program PKK Tata Busana 2025