Info Burinyay
Nasional

FWK: Reformasi Polri Harus Kembalikan Polisi Sebagai Pengayom Rakyat

Forum Wartawan Kebangsaan dorong reformasi Polri mengayomi rakyat
FWK Dorong Transparansi Polri”, “Masyarakat Rindu Polisi Humanis”, “Reformasi Harus Menyentuh Akar Masalah.

Jakarta – Forum Wartawan Kebangsaan (FWK) menyerap pesan kuat dari masyarakat: rakyat rindu polisi yang kembali mengayomi, bukan sekadar melindungi dan melayani. Pesan itu mengemuka dalam diskusi FWK yang berlangsung di Kantor Biro Jakarta Harian Suara Merdeka, Rabu (8/10).

Koordinator FWK Raja Parlindungan Pane menilai bahwa reformasi Polri yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto sangat tepat. Ia menegaskan, setelah lebih dari dua dekade sejak Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 diterapkan, Polri perlu memperbarui sistem dan budaya kerjanya agar sejalan dengan perkembangan zaman.

“Reformasi Polri yang digagas Presiden Prabowo merupakan momentum penting untuk memperbaiki kepercayaan publik. Polri harus berubah menjadi lembaga yang profesional, transparan, dan berpihak kepada rakyat,” ujar Raja Pane.

Dalam diskusi tersebut, sejumlah wartawan senior menilai perilaku sebagian aparat kini semakin jauh dari fungsi utamanya. Mereka melihat, di tengah kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi, hubungan polisi dan rakyat justru merenggang.

Masyarakat sering mengeluhkan pelayanan yang lambat dan tidak konsisten. Beberapa peserta forum juga menyoroti cara polisi menegakkan aturan yang terkesan kaku tanpa pendekatan empati. Akibatnya, citra kepolisian sebagai pelindung rakyat terus menurun.

Selain itu, peserta mengingatkan insiden demonstrasi pada Agustus lalu yang memicu kemarahan publik. Dalam peristiwa itu, seorang peserta tewas akibat terlindas kendaraan taktis, sedangkan beberapa mahasiswa dan aktivis justru ditangkap ketika menyuarakan aspirasi mereka.

“Peristiwa semacam itu mencerminkan hilangnya semangat pengayoman di tubuh Polri. Polisi seharusnya hadir menjaga hak rakyat, bukan menekan aspirasi mereka,” ujar salah satu peserta forum.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik Agus Wahid, yang dikutip dari VOI.id, menegaskan pentingnya reformasi menyeluruh. Ia mengutip data Global Corruption Barometer (GCB) milik Transparency International, yang menunjukkan bahwa Polri menempati posisi kelima sebagai lembaga paling korup di Indonesia.

Dalam sepuluh tahun terakhir, tren korupsi di institusi kepolisian meningkat hingga 65 persen. Agus menilai, situasi ini memperlihatkan lemahnya sistem pengawasan internal.

“Ketika kontrol melemah, penyalahgunaan wewenang tumbuh subur. Polri perlu mekanisme pengawasan yang ketat agar integritas aparat tetap terjaga,” kata Agus.

Menurutnya, reformasi sejati bukan sekadar perubahan struktur, melainkan juga transformasi mental dan budaya pelayanan. Ia menegaskan bahwa transparansi dan keteladanan pimpinan menjadi kunci utama dalam membangun kembali kepercayaan publik.

Koordinator Bidang Politik dan Keamanan FWK yang juga Pemimpin Redaksi VOI, Iqbal Irsyad, menambahkan bahwa rakyat sebenarnya tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin melihat polisi yang tulus bekerja, melayani tanpa pamrih, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

“Rakyat ingin polisi yang hadir dengan hati. Mereka ingin aparat yang bekerja jujur, sederhana, dan mau mendengar keluh kesah masyarakat,” ujar Iqbal.

Ia menilai, polisi yang mampu menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat akan lebih mudah mendapatkan kepercayaan. Karena itu, FWK mendorong perubahan yang berfokus pada empati, bukan sekadar seragam dan jabatan.

Sejak pemisahan Polri dari ABRI pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, publik sempat optimistis reformasi akan membawa perubahan besar. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 memberi dasar bagi Polri untuk mandiri dan modern. Namun, setelah lebih dari dua puluh tahun, banyak kalangan menilai perubahan belum menyentuh akar persoalan.

Kasus pelanggaran etik, pungutan liar, dan kekerasan masih sering terjadi di lapangan. Akibatnya, kepercayaan publik kembali turun. Di sisi lain, sebagian anggota Polri justru menunjukkan kinerja baik dan berintegritas tinggi. Kondisi ini membuktikan bahwa perubahan tetap mungkin terjadi jika ada kemauan dari pimpinan.

“Kepemimpinan yang tegas dan berani memulai dari atas akan menentukan arah reformasi. Ketika pimpinan memberi teladan, anggota di lapangan akan mengikuti,” ujar Raja Pane.

FWK menegaskan bahwa reformasi Polri harus mengembalikan ruh pengayoman. Polisi tidak boleh tampil sebagai penguasa, melainkan pelindung dan sahabat rakyat.

“Ketika rakyat merasa aman di hadapan polisi, saat itulah pengayoman sejati hadir. Polisi yang humanis akan menjadi sandaran rakyat, bukan sumber ketakutan,” tegas Raja Pane.

Selain itu, FWK mendorong pemerintah untuk membentuk tim evaluasi independen guna menilai pelaksanaan reformasi di tubuh Polri. Tim ini perlu melibatkan unsur masyarakat sipil, akademisi, dan media agar hasilnya objektif dan transparan.

Di akhir diskusi, FWK menegaskan komitmennya untuk mengawal jalannya reformasi Polri. Melalui kegiatan dialog, pemantauan media, dan riset kebijakan, FWK berencana mengawal proses perubahan ini hingga Polri benar-benar kembali menjadi lembaga yang dipercaya.

“Kami akan terus mengingatkan dan mengawal arah reformasi agar tidak melenceng. Rakyat berharap banyak, dan kami ingin memastikan harapan itu tidak dikhianati,” kata Iqbal Irsyad.

Diskusi yang berlangsung hampir tiga jam tersebut menegaskan satu hal penting: Polri harus kembali ke jati diri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Dengan langkah nyata dan ketulusan, polisi dapat kembali menjadi simbol keadilan dan harapan bagi rakyat Indonesia.

Related posts

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.