Dekrit Presiden 1959 dan Relevansi Empat Amanat untuk Bangsa Indonesia Kini. (photo-ilustrasi-ai)
Oleh: Rohidin, SH., MH., M.Si., Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18
Bangsa Indonesia berdiri di atas fondasi sejarah yang kokoh. Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan sekadar teks, melainkan ikrar suci lahir dari penderitaan panjang. Akan tetapi, amanat yang terkandung dalam Proklamasi, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, dan UUD NRI 1945 sering diabaikan.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menegaskan kembali ke UUD 1945. Namun jika ditelaah dengan akal, pikiran, dan rasa, Dekrit itu sesungguhnya menyimpan empat amanat besar. Keempat amanat ini menjadi jalan pulang bangsa untuk menemukan mustika Nusantara. Tanpa memahami empat amanat itu, kita hanya berputar dalam mistika: simbol tanpa makna, hukum tanpa jiwa.
Proklamasi adalah ruh bangsa. Kemerdekaan Indonesia tidak berarti kebebasan tanpa arah. Ia menuntut ketaatan pada amanat pendiri dan leluhur bangsa. Eyang Darmasiksa pernah bersumpah: “Kami bangsa yang tidak sudi dijajah dan tidak akan menjajah.”
Namun sekarang situasi berbalik. Modal asing menancapkan kuku di ekonomi. Perusahaan global merampas sumber daya alam. Pemerintah pun sering tunduk pada tekanan lembaga internasional. Oleh karena itu, ekonomi kapitalis-liberal ala Adam Smith semakin menyingkirkan amanat Proklamasi.
Lebih jauh, alinea kedua Proklamasi menyebut “pemindahan kekuasaan dan lain-lain”. Frasa itu menegaskan bahwa sistem bangsa tidak boleh meniru bangsa asing. Akan tetapi, politik Indonesia menyalin Amerika. Hukum mengadopsi Eropa dan Arab. Pendidikan mencontoh Sorbonne. Ekonomi terikat kapitalisme Barat. Semua itu jelas mengkhianati ruh Proklamasi.
Pancasila seharusnya menjadi alat kalibrasi bangsa. Namun praktiknya jauh berbeda. Para elite menjadikan Pancasila sekadar jargon politik.
Di sekolah, Pancasila berhenti pada 45 butir hafalan. Padahal nilai yang terkandung jauh lebih luas. Akibatnya, keadilan sosial terabaikan. Oligarki menguasai kekayaan negara. Gotong royong terkikis individualisme. Politik identitas memecah belah masyarakat.
Apabila Pancasila dibedah dengan akal, pikiran, dan rasa, ia justru menolak keserakahan, penindasan, dan ketidakadilan. Karena itu, bangsa Indonesia harus menemukan jalannya sendiri. Ia tidak boleh menyalin sistem asing, baik dari Barat maupun Timur.
Pembukaan UUD 1945 memuat empat alinea dengan pesan mendalam.
Namun realitas tidak sejalan. Indonesia memang merdeka, tetapi kedaulatan rapuh. Politik berjalan, tetapi modal besar mengendalikan arah. Hukum berlaku, tetapi rakyat kecil sering kalah di pengadilan. Oleh sebab itu, setiap kebijakan seharusnya diuji dengan satu pertanyaan: Apakah kebijakan ini membawa bangsa pada kemandirian dan keadilan? Jika jawabannya tidak, kebijakan itu jelas mengkhianati konstitusi.
UUD 1945 awalnya berfungsi sebagai alat mencapai cita-cita bangsa. Setelah amandemen, ruh asli hilang. Sistem liberal masuk, lalu memberi ruang lebar bagi asing dan oligarki.
Bangsa ini perlu kembali ke UUD 1945 yang asli. Kita wajib menjaga teks dan ruhnya, kemudian menyesuaikan dengan kebutuhan kekinian. Semua produk hukum—mulai dari undang-undang hingga peraturan daerah—harus dievaluasi. Ukurannya hanya satu: Pancasila.
Jika evaluasi gagal dilakukan, Indonesia akan terus menghadapi kegaduhan politik, hukum tumpang tindih, dan ekonomi timpang. Pada akhirnya, rakyatlah yang menanggung akibatnya.
Empat amanat Dekrit Presiden memegang fungsi fundamental:
Dengan demikian, bangsa Indonesia harus menempatkan keempat amanat itu sebagai dasar. Hanya dengan cara itu negeri ini bisa kembali menemukan jalannya. Jalan Nusantara, bukan jalan Barat atau jalan Timur.
Selain itu, kita juga perlu mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. MPR wajib menjadi rumah besar bangsa, bukan sekadar simbol.
Di lembaga inilah perwakilan rakyat dan daerah bermusyawarah menentukan arah negara. Amanat Proklamasi, Pancasila, Pembukaan, dan UUD juga dijaga di sana. Namun saat ini kekuasaan justru terkonsentrasi di DPR dan Presiden. Akibatnya, MPR kehilangan makna.
Menghidupkan kembali peran MPR berarti menghidupkan musyawarah sebagai roh politik Nusantara. Tanpa itu, bangsa hanya menjadi arena perebutan kursi, bukan wadah mencari solusi.
Empat amanat Dekrit Presiden 1959 bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah panggilan moral untuk bangsa Indonesia. Jika amanat ini diabaikan, yang tersisa hanya mistika: kemerdekaan tanpa kedaulatan, hukum tanpa keadilan, simbol tanpa isi.
Sebaliknya, bila bangsa berani kembali kepada empat amanat itu, mustika akan muncul: kemerdekaan sejati, persatuan kokoh, kedaulatan nyata, keadilan merata, dan kemakmuran berkelanjutan.
Itulah jalan pulang bangsa Indonesia. Jalan yang hanya bisa dicapai dengan akal, pikiran, dan rasa.
Jakarta, Info Burinyay — Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dinilai harus segera memperbaiki…
Soreang, Info Burinyay - Bupati Bandung Dadang Supriatna menghadiri kegiatan Grand Launching, Pengukuhan, dan Stadium…
Oleh: Rohidin, SH., MH., M.Si.Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18 Dunia sedang…
Pasirjambu, Info Burinyay - Sekolah Dasar Negeri (SDN) Ciranjang 2, Desa Sugihmukti, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten…
Yogyakarta, Info Burinyay - Suasana di Barak Pengungsian Girikerto, Sleman, Yogyakarta, terasa berbeda pada Kamis…
Pangalengan, Info Burinyay - Pemerintah Desa Lamajang di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, terus mempercepat pembangunan…
This website uses cookies.
Leave a Comment