Indonesia di Persimpangan Sejarah Saatnya Presiden Ambil Sikap Tegas. (gambar-ilustrasi-ai)
Oleh: Rohidin, SH., MH., M.Si., Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18
Indonesia sedang berdiri di persimpangan sejarah yang menentukan arah bangsa. Gejolak politik dan ekonomi yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan rakyat terhadap lembaga negara. Demonstrasi besar yang pecah di berbagai daerah tidak hanya menuntut perubahan kebijakan, tetapi juga mengarah pada tuntutan pembubaran DPR.
Gelombang kemarahan rakyat semakin terasa ketika beberapa rumah pejabat DPR RI digerebek massa. Rumah milik Eko Patrio, rumah Uya Kuya, rumah Napaurbah, rumah Ahmad Sahroni, dan rumah MekiU Sri Mulyani menjadi sasaran amarah rakyat. Aksi itu menimbulkan kerugian materi sekaligus kerusakan simbolis: runtuhnya wibawa pejabat publik di mata rakyat. Fakta ini memperlihatkan bahwa ketidakpuasan sudah melewati batas.
Jika situasi ini tidak segera direspons, maka amarah rakyat bisa berkembang menjadi ledakan sosial yang lebih besar. Sejarah mencatat, revolusi sering lahir ketika pemerintah mengabaikan jeritan rakyat. Karena itu, Presiden tidak boleh berdiam diri. Pertanyaannya, apakah Presiden berani mengambil keputusan tegas, seperti langkah Presiden Soekarno dengan Dekrit 5 Juli 1959, atau Presiden Abdurrahman Wahid yang pernah membubarkan DPR?
Sejak Agustus hingga September 2025, rakyat turun ke jalan menuntut perubahan. Mereka bukan sekadar menyuarakan ketidakpuasan, tetapi juga menegaskan bahwa DPR telah kehilangan legitimasi. Korupsi, politik uang, serta gaya hidup mewah anggota DPR membuat rakyat muak. Bahkan, kematian demonstran Affan Kurniawan semakin memperburuk citra aparat dan penguasa.
Transisi kalimat penting di sini: kekecewaan berubah menjadi perlawanan, dan perlawanan kini menuntut perubahan total. Rakyat meminta Presiden tidak hanya memperbaiki DPR, tetapi membubarkan lembaga tersebut lalu membentuk struktur baru yang lebih bersih.
Kemarahan rakyat lahir dari pengalaman nyata. Mereka melihat anggota DPR lebih sibuk menaikkan tunjangan dan fasilitas, sementara rakyat berjuang menghadapi harga kebutuhan pokok yang terus melambung. Rakyat juga menyaksikan bagaimana aparat bersikap represif terhadap demonstrasi damai.
Selain itu, rakyat menuntut akuntabilitas. Mereka ingin transparansi anggaran, audit partai politik, serta penghentian praktik politik dinasti. Oleh karena itu, 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang lahir sebagai dokumen perlawanan rakyat.
Transisi dari sini: tuntutan itu menunjukkan rakyat tidak hanya marah, tetapi juga menawarkan solusi konkrit.
Situasi ini mendorong munculnya dua opsi ekstrem: darurat militer atau dekrit pembubaran DPR. Menhan Sapri Samsudin bahkan disebut mengajukan proposal darurat militer. Namun, langkah ini bisa dianggap aneh, karena Presiden sendiri berlatar belakang militer. Menggunakan opsi itu justru akan memperlemah legitimasinya di mata rakyat.
Sebaliknya, dekrit pembubaran DPR bisa menjadi solusi politik. Namun, dekrit itu harus dipersiapkan dengan matang. Presiden perlu belajar dari kegagalan Gus Dur yang dijatuhkan ketika mengeluarkan dekrit serupa.
Langkah yang bisa diambil Presiden:
Transisi berikutnya: pilihan ini tidak mudah, tetapi rakyat menilai hanya langkah berani yang bisa menyelamatkan bangsa.
Sejarah membuktikan bahwa dekrit pernah menjadi jalan keluar dari kebuntuan politik. Pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan dekrit yang mengembalikan UUD 1945 karena Konstituante gagal menyusun konstitusi baru. Dekrit itu melahirkan MPRS, sebuah lembaga yang kemudian berperan besar dalam sejarah politik Indonesia.
Abdul Haris Nasution bahkan sempat memimpin MPRS hingga 1971. Lembaga itu memiliki peran penting, termasuk mencabut mandat Presiden Soekarno pasca-G30S. Artinya, dekrit tidak hanya sah, tetapi juga memiliki legitimasi sejarah.
Rakyat sudah bergerak. Mereka menuntut perubahan sistemik, bukan sekadar kosmetik. Jika Presiden tidak mengambil sikap, rakyat bisa melangkah lebih jauh. Contoh negara lain seperti Prancis atau Neval memperlihatkan bahwa kemarahan rakyat dapat menghancurkan gedung parlemen hingga menewaskan keluarga pejabat tinggi.
Transisi tegas: pencegahan lebih baik daripada kehancuran.
Dalam doktrin militer, strategi pencegahan jauh lebih efektif daripada menunggu krisis pecah. Karena itu, Presiden harus mendengarkan rakyat sebelum terlambat.
Hari ini, Indonesia berada di persimpangan sejarah. Jalan pertama adalah mendengar rakyat, berani membubarkan DPR, serta menjalankan reformasi menyeluruh. Jalan kedua adalah memilih otoritarianisme melalui darurat militer yang justru akan memicu revolusi rakyat.
Rakyat sudah mengajukan 17 tuntutan dan 8 agenda jangka panjang. Semua itu lahir dari pengalaman nyata dan aspirasi kolektif. Karena itu, Presiden tidak bisa lagi mengabaikan.
Sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani. Apakah Presiden berani berdiri bersama rakyat atau justru melawan arus sejarah?
Rakyat sudah memilih jalannya. Kini giliran Presiden menentukan sikap.
Jakarta, Info Burinyay — Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dinilai harus segera memperbaiki…
Soreang, Info Burinyay - Bupati Bandung Dadang Supriatna menghadiri kegiatan Grand Launching, Pengukuhan, dan Stadium…
Oleh: Rohidin, SH., MH., M.Si.Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18 Dunia sedang…
Pasirjambu, Info Burinyay - Sekolah Dasar Negeri (SDN) Ciranjang 2, Desa Sugihmukti, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten…
Yogyakarta, Info Burinyay - Suasana di Barak Pengungsian Girikerto, Sleman, Yogyakarta, terasa berbeda pada Kamis…
Pangalengan, Info Burinyay - Pemerintah Desa Lamajang di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, terus mempercepat pembangunan…
This website uses cookies.
Leave a Comment