PBB Krisis Dana, Indonesia Terimbas Saat Perdamaian Dunia Tergadaikan oleh Kelalaian Global. (photo-ilustrasi-ai)
Oleh: Rohidin, SH., MH., M.Si.
Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18
Dunia sedang berdiri di tepi jurang moral. Lembaga yang dulu menjadi simbol harapan—Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)—kini justru terguncang oleh krisis pendanaan yang mengancam misi penjaga perdamaian (MPP). Ironisnya, penyebabnya bukan perang atau konflik, melainkan kelalaian negara-negara anggota yang menunda iuran wajib.
Situasi ini menggambarkan kemerosotan disiplin global. Bukan hanya soal uang yang tak dibayar, tetapi soal tanggung jawab yang diabaikan. Ketika negara anggota menutup mata terhadap kewajiban mereka, PBB kehilangan daya untuk menjalankan mandatnya menjaga perdamaian dunia.
Masalah pendanaan kali ini bukan sekadar defisit anggaran tahunan. Ia memperlihatkan bagaimana kepentingan politik menundukkan idealisme perdamaian. Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, memerintahkan pemangkasan anggaran hingga 15% di seluruh misi. Akibat keputusan itu, jumlah personel berkurang sekitar 25%.
Dengan demikian, ribuan penjaga perdamaian harus meninggalkan pos sebelum tugas mereka selesai. Padahal, setiap pos itu bukan sekadar lokasi kerja, melainkan benteng terakhir bagi warga sipil di wilayah konflik.
Meskipun PBB menyetujui anggaran sebesar USD 5,38 miliar untuk tahun 2025–2026, angka itu belum menjamin kelancaran operasi. Selama iuran belum dibayar tepat waktu, dana itu hanya catatan di atas kertas. Ketika arus uang macet, pasokan logistik tersendat, patroli berhenti, dan warga sipil kembali hidup dalam ketakutan.
Oleh karena itu, setiap keterlambatan pembayaran harus dipandang sebagai bentuk kelalaian moral, bukan sekadar persoalan administrasi.
Dampak krisis ini terasa langsung di lapangan. Di Republik Demokratik Kongo, patroli keamanan mulai jarang dilakukan. Sementara itu, di Sudan Selatan, pengawasan terhadap gencatan senjata semakin longgar. Di Republik Afrika Tengah, bantuan kemanusiaan kerap tertunda.
Kondisi ini memunculkan rantai masalah baru. Karena minimnya dana, PBB menutup beberapa kantor lapangan dan mengurangi kegiatan intelijen sipil. Akibatnya, informasi situasi konflik menjadi terbatas, dan potensi pelanggaran HAM semakin besar.
Di sisi lain, disinformasi dan berita hoaks yang menyerang pasukan PBB juga kian marak. Dengan kemampuan komunikasi publik yang menurun, PBB kesulitan melawan kampanye negatif itu. Akibatnya, citra penjaga perdamaian tercoreng, dan kepercayaan masyarakat internasional semakin menurun.
Sebagai salah satu kontributor terbesar dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian, Indonesia terkena dampak langsung dari krisis ini. Kontingen Garuda (Konga) yang selama ini menjadi simbol diplomasi aktif menghadapi tantangan baru.
Pertama, kuota pengerahan pasukan berpotensi berkurang. Bila PBB memangkas skala operasinya, jumlah pasukan Indonesia yang bisa dikirim otomatis menurun. Dampaknya, eksposur diplomasi dan pengaruh strategis Indonesia ikut merosot.
Selain itu, penutupan misi tertentu menghilangkan ruang pembelajaran dan pengalaman internasional bagi prajurit kita. Padahal, pengalaman lapangan di bawah bendera PBB selalu menjadi aset berharga dalam karier militer dan diplomatik.
Lebih jauh lagi, risiko operasional meningkat tajam. Keterbatasan logistik dan peralatan memperbesar ancaman keselamatan personel. Satu kesalahan kecil dapat berujung pada korban jiwa.
Di sisi lain, reimbursement atau kompensasi finansial dari PBB sering tertunda. Penundaan ini menambah tekanan pada anggaran nasional. Sementara itu, penurunan partisipasi berpotensi menggerus reputasi Indonesia sebagai negara penjaga perdamaian terdepan di Asia.
Oleh sebab itu, Indonesia harus bergerak cepat dan tidak hanya menunggu PBB berbenah.
Krisis ini membuka mata dunia tentang kelemahan mendasar dalam sistem pendanaan PBB. Ketika beberapa negara besar menahan iuran, seluruh misi di Afrika, Timur Tengah, dan Asia langsung terguncang. Ketergantungan semacam ini berbahaya, karena mematikan prinsip keadilan dan kemandirian global.
Sudah saatnya muncul mekanisme baru yang lebih adil. Indonesia bersama negara-negara berkembang lain bisa mendorong pembentukan Trust Fund Multinasional Permanen, di mana dana disimpan dan diaudit secara transparan. Dengan cara ini, keberlangsungan misi tidak lagi bergantung pada itikad politik segelintir negara kaya.
Selain itu, Indonesia dapat memainkan peran mediator. Melalui diplomasi aktif di Dewan Keamanan dan Majelis Umum, kita bisa mendesak agar kewajiban pembayaran dijadikan prioritas bersama, bukan sekadar formalitas tahunan.
Krisis ini sesungguhnya lebih dari sekadar masalah keuangan. Ia adalah cermin kegagalan moral komunitas internasional. Dunia berbicara tentang solidaritas, tetapi gagal membuktikannya dalam tindakan konkret.
Pertanyaannya sederhana: bagaimana mungkin PBB menegakkan perdamaian global jika lembaganya sendiri tidak stabil secara finansial? Dan bagaimana dunia bisa berharap pada sistem yang membiarkan penjaga perdamaian bekerja tanpa kepastian dukungan?
Dalam situasi seperti ini, Indonesia perlu berdiri tegak. Negara ini tidak boleh hanya menjadi pelaksana, tetapi harus menjadi penentu arah. Dengan kekuatan diplomatik dan moral, Indonesia bisa memimpin upaya reformasi sistem perdamaian global.
Selain itu, pemerintah perlu menyiapkan strategi domestik yang lebih tangguh. Sinergi antara Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, dan TNI menjadi kunci. Kolaborasi ini dapat memastikan kesiapan logistik, keamanan personel, dan kesinambungan pelatihan.
Krisis pendanaan MPP bukan sekadar tanda lemahnya manajemen, tetapi juga simbol menurunnya komitmen dunia terhadap kemanusiaan. Jika negara-negara besar terus menunda kewajibannya, perdamaian global akan mati perlahan—bukan karena perang, tetapi karena kelalaian membayar iuran.
Indonesia tidak boleh pasif. Sebaliknya, bangsa ini harus terus menjadi suara moral dan penggerak solusi. Dunia membutuhkan negara yang berani mengingatkan, bukan yang hanya ikut berbaris di belakang negara besar.
Perdamaian sejati tidak lahir dari rapat-rapat megah di New York, tetapi dari kesadaran kolektif bahwa setiap keterlambatan dan setiap pengabaian memiliki konsekuensi nyata.
Jika dunia tetap abai, sejarah akan mencatat: kehancuran perdamaian global bermula bukan dari tembakan senjata, melainkan dari diamnya negara-negara yang lupa membayar janji mereka kepada kemanusiaan.
Jakarta, Info Burinyay — Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dinilai harus segera memperbaiki…
Soreang, Info Burinyay - Bupati Bandung Dadang Supriatna menghadiri kegiatan Grand Launching, Pengukuhan, dan Stadium…
Pasirjambu, Info Burinyay - Sekolah Dasar Negeri (SDN) Ciranjang 2, Desa Sugihmukti, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten…
Yogyakarta, Info Burinyay - Suasana di Barak Pengungsian Girikerto, Sleman, Yogyakarta, terasa berbeda pada Kamis…
Pangalengan, Info Burinyay - Pemerintah Desa Lamajang di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, terus mempercepat pembangunan…
CIleunyi, Info Burinyay – SMP Negeri 2 Cileunyi menggelar kegiatan Gebyar Bahasa bertajuk AKSARA (Aksi…
This website uses cookies.
Leave a Comment