Info Burinyay
Opini

Ulama Dirangkul, Angka Berbicara

Ulama Dirangkul, Angka Berbicara. (photo-ilisutrasiai)

Oleh: Raditya Indrajaya

Mari kita mulai dengan pengakuan sederhana. Pembangunan di Kabupaten Bandung bukan hanya soal jalan baru, gedung tinggi, atau jembatan megah. Ada bahan lain yang lebih halus, tetapi sangat menentukan. Bahan itu bukan aspal atau baja, melainkan doa ulama, keteguhan asatidz, serta kerja marbot masjid yang bangun sebelum ayam berkokok. Kang DS memilih jalur berbeda. Ia membangun Kabupaten Bandung dari pondasi ruh masyarakat, bukan hanya dari beton.

Sebagian orang langsung menuding langkah ini sebagai pencitraan. Tuduhan itu mudah lahir, apalagi di zaman komentar gratis hanya butuh ketikan singkat. Tetapi mari berhenti sejenak. Jika ini hanya pencitraan, mengapa angka-angka statistik justru bergerak ke arah positif? Indeks Pembangunan Manusia naik dari 74,03 menjadi 74,59. Pertumbuhan ekonomi melaju dari 4,97% ke 5,04%. Angka Harapan Hidup meningkat dari 74,92 menjadi 75,23 tahun. Tingkat pengangguran turun dari 6,55% menjadi 6,36%. Kemiskinan menyusut dari 6,40% ke 6,19%. Akses sanitasi meningkat dari 92,61% ke 93,43%. Dan yang paling tajam: stunting merosot dari 29,2% ke 24,1%.

Kalau semua ini sekadar kosmetik, berarti kosmetiknya kelas premium. Kalau benar hanya pencitraan, mohon bagikan resepnya.

Ulama Sebagai Pondasi, Bukan Tambahan

Ketua DMI Kabupaten Bandung, Gus Ali, menegaskan Kang DS sangat memperhatikan ulama dan asatidz. Pernyataan itu sederhana, tetapi maknanya besar. Di kampung, menghargai ulama berarti menghormati mereka yang setiap hari mendoakan kampung. Mengurus guru ngaji dan marbot berarti menjaga hal-hal kecil yang sering luput dari program resmi pemerintah.

Kebijakan santunan guru ngaji, perhatian pada marbot, serta kemudahan urusan masjid terdengar remeh bagi sebagian elit. Namun kebijakan itu menciptakan efek domino. Guru ngaji yang dihargai mengajar dengan semangat. Marbot yang diperhatikan bekerja dengan ikhlas. Ulama yang dirangkul menjaga ketenangan jamaah. Hasilnya? Suasana sosial menjadi stabil. Anak-anak belajar lebih rajin, orang tua bersikap lebih sabar, dan masyarakat semakin kuat dalam gotong royong.

Dengan kata lain, Kang DS membuktikan bahwa pembangunan sosial lahir dari penghargaan kepada akar masyarakat.

Angka Naik Karena Akar Terjaga

Banyak orang mengira angka makro lahir dari teknokrasi semata. Padahal logikanya jelas: masyarakat yang tenang lebih produktif. Warga yang dihargai lebih kooperatif. Ulama yang dilibatkan menjaga suasana tetap kondusif. Kombinasi itu menghasilkan stabilitas sosial yang tidak bisa Anda hitung dengan kalkulator proyek.

Lihatlah penurunan stunting. Dari 29,2% ke 24,1% bukan hanya hasil program gizi. Angka itu bergerak turun karena rantai sosial bekerja. Orang tua lebih peduli, komunitas lebih solid, ulama lebih gencar mengingatkan jamaah. Jadi, perbaikan data bukan lahir dari mukjizat, tetapi dari masyarakat yang merasa dihargai.

Transisi dari akar ke buah jelas terlihat: ketika akar sosial terjaga, statistik makro ikut membaik.

Kritik Tanpa Data Hanya Bising

Sayangnya, sebagian orang lebih senang mencemooh ketimbang mengakui hasil. Kritik datang deras, tetapi mayoritas hanya berisi prasangka. Mereka menyerang figur, bukan program. Mereka menyerang niat, bukan capaian.

Padahal, kritik yang sehat seharusnya berbasis data. Kalau ingin menyoal program, silakan. Tetapi jangan menutup mata terhadap angka-angka yang bergerak positif. Pengangguran turun, kemiskinan turun, sanitasi membaik, dan stunting menurun drastis. Semua itu fakta, bukan slogan.

Kritik tanpa data hanya menambah kebisingan. Lebih baik kita adu data, bukan adu duga. Jika ulama tidak memberi manfaat, mengapa IPM bisa naik? Jika santunan guru ngaji tidak berdampak, mengapa angka kemiskinan menyusut?

Ulama dan Industri: Dua Sayap yang Saling Melengkapi

Sebagian pihak bertanya, “Kenapa sibuk memperhatikan ulama, bukannya fokus ke industri?” Pertanyaan itu terdengar logis, tetapi dangkal. Industri memang penting. Ia membutuhkan listrik, jalan, air, dan tenaga kerja. Namun industri juga membutuhkan stabilitas sosial.

Bayangkan pabrik berdiri di tengah warga yang setiap hari ribut. Berapa biaya keamanan yang harus ditanggung? Berapa investasi yang akan tertunda karena konflik? Tanpa iklim sosial yang tenang, spreadsheet bisnis akan menangis sebelum audit dimulai.

Dengan merangkul ulama, Kang DS menciptakan stabilizer sosial. Ia menghemat biaya konflik yang tidak terlihat, tetapi sangat mahal. Jadi jangan pernah memisahkan ulama dari industri. Keduanya ibarat dua sayap yang membuat pembangunan bisa terbang.

Infrastruktur Tak Tertangkap Drone

Drone bisa merekam jalan baru atau gedung tinggi. Namun drone tidak bisa merekam kepercayaan publik. Padahal, kepercayaan publik itulah infrastruktur paling berharga.

Ketika ulama dihargai, guru ngaji disantuni, dan marbot diberi perhatian, masyarakat merasa didengar. Dari rasa percaya inilah energi sosial lahir. Energi itu mengalir ke setiap program. Masyarakat mau mendukung, mau berpartisipasi, bahkan mau mengawasi. Dan energi ini jauh lebih berharga daripada seribu baliho.

Inilah transisi penting: dari pembangunan fisik menuju pembangunan kepercayaan.

Konsistensi Menentukan Warisan

Gus Ali menilai Kang DS punya gaya kepemimpinan agresif, kreatif, dan terkoordinasi. Tetapi saya menambahkan satu kata lagi: konsisten. Tanpa konsistensi, kebijakan baik hanya menjadi catatan rapat. Sama seperti azan tanpa iqamah—merdu, tetapi jamaah bubar.

Konsistensi menjaga keberlanjutan. Santunan guru ngaji, dukungan untuk marbot, dan kebijakan ramah masjid tidak boleh berhenti. Jika pola ini berlanjut, generasi penerus akan mewarisi fondasi sosial yang lebih kuat daripada gedung beton.

Doa dan Data Harus Jalan Bersama

Pembangunan modern sering memisahkan doa dari data. Seolah khutbah tidak ada kaitan dengan grafik ekonomi. Padahal, di lapangan, keduanya saling bertaut. Doa melahirkan ketenangan. Data mencatat hasil kerja nyata. Ketika doa dan data berjalan bersama, pembangunan menjadi utuh: kuat secara angka, dan bermakna bagi masyarakat.

Mau jadi pemimpin masa depan? Belajarlah membaca data sambil menjaga doa. Kuasai APBD, tetapi jangan gagap ketika bertemu marbot. Anggaran besar tanpa empati hanya menghasilkan bangunan tinggi yang sepi.

Adu Data, Bukan Adu Prasangka

Untuk para pengkritik, tawaran damai saya jelas: mari kita adu data. Jangan adu duga. Kalau perhatian kepada ulama dianggap sia-sia, tunjukkan data tandingan. Jika angka membaik, akui saja fakta.

Kalau semua pencapaian ini masih Anda sebut pencitraan, mari kita institusikan pencitraan. Jadikan indikator resmi. Ukur progresnya setiap triwulan. Jika hasilnya terus positif, bukankah lebih baik kita biarkan “pencitraan” seperti ini berkembang?

Penutup

Pembangunan sejati membuat angka tersenyum dan hati tenang. Data yang membaik adalah bukti kerja nyata. Ulama yang dirangkul adalah tanda kepemimpinan yang paham akar masyarakat.

Kabupaten Bandung tidak butuh panggung politik yang riuh. Kabupaten Bandung butuh rumah sosial yang rapi, baik di data maupun di dada. Maka biarkan ulama mendoakan, biarkan data berbicara, dan biarkan semua pihak bekerja. Karena pembangunan terbaik bukan hanya meninggalkan monumen, melainkan memastikan masyarakat hidup lebih sehat, lebih tenteram, dan lebih sejahtera.

Related posts

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.