Info Burinyay
Opini

Ketika Diplomasi Gagal dan Trump Berkata: Indonesia Tak Penting

Ketika Diplomasi Gagal dan Trump Berkata Indonesia Tak Penting. (photo-ilustrasi-ai)

Opini Kebangsaan Oleh: ROHIDIN, SH., MH., M.Si., Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18

Ketika ekonomi global tengah mencari stabilitas pasca-pandemi, Presiden Amerika Serikat Donald Trump justru mengguncang ulang tatanan perdagangan dunia. Lewat kebijakan tarif baru, Trump menetapkan beban masuk yang sangat besar terhadap produk dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Mulai 1 Agustus 2025, ekspor Indonesia ke Amerika akan dikenai tarif 32%, lebih tinggi dari Malaysia yang hanya 25%, bahkan lebih rendah dibandingkan Thailand yang mencapai 36%.

Langkah tersebut menyulut pertanyaan besar: mengapa Indonesia yang telah menawarkan kerja sama bernilai fantastis tetap dihukum?

Investasi 550 Triliun Gagal Meluluhkan Trump

Pemerintah Indonesia sebelumnya mengajukan komitmen investasi dan impor ke Amerika Serikat senilai USD 34 miliar atau sekitar Rp551 triliun. Tujuannya sangat jelas: menghindari hukuman tarif yang bakal merugikan ekspor nasional.

Namun, Trump menolak mentah-mentah. Ia tidak melihat angka tersebut sebagai alasan untuk membatalkan rencana tarif. Bahkan, ia menganggap Indonesia masih kurang strategis dibandingkan negara-negara lain seperti Vietnam atau Malaysia.

Kegagalan ini menyadarkan kita bahwa politik global tidak semata-mata bergerak atas dasar kalkulasi ekonomi, tetapi lebih pada posisi tawar, loyalitas, dan kekuatan diplomatik langsung.

Vietnam: Menang Karena Negosiasi Langsung

Vietnam berhasil menunjukkan kekuatan diplomasi langsung. Pada awalnya, Trump mengancam mengenakan tarif 49% terhadap produk Vietnam. Namun, setelah proses negosiasi intensif, Vietnam hanya dikenai tarif 20%. Negosiasi tersebut bahkan melibatkan komunikasi langsung antara pejabat tinggi Vietnam dengan Trump.

Berbeda dengan Indonesia, Vietnam tidak sekadar menyodorkan angka. Mereka merumuskan strategi tawar yang melibatkan relasi politik, pengaruh kawasan, dan kelincahan diplomasi.

Hal ini menegaskan bahwa akses langsung ke pengambil keputusan menjadi kunci utama dalam melindungi kepentingan ekonomi nasional. Angka besar tidak cukup; relasi personal justru menentukan.

Baca Juga
H. Aef Hendar Cahyad Dianggap Layak Dampingi Bupati dalam Pilkada Mendatang

Peta Tarif dan Posisi Indonesia di Mata Trump

Trump membagi tarif secara selektif. Tarif tertinggi dikenakan kepada Myanmar dan Laos sebesar 40%. Kamboja dan Thailand mendapat tarif 36%, Serbia 35%, dan Bangladesh 35%. Sementara itu, Malaysia dan Kazakhstan hanya dikenai tarif 25%.

Indonesia berada di tengah, tetapi lebih buruk dari Malaysia dan Vietnam. Dengan tarif 32%, Indonesia kini menghadapi risiko penurunan ekspor besar-besaran ke pasar Amerika.

Melalui pola ini, Trump jelas menyampaikan pesan: siapa pun yang tidak tunduk atau tidak menjalin hubungan strategis, akan menerima tekanan ekonomi.

Tarif Dagang sebagai Senjata Hegemoni

Trump tidak lagi menyembunyikan niatnya. Dalam surat resmi kepada 14 negara, ia menyatakan bahwa setiap upaya menaikkan tarif terhadap produk Amerika akan dibalas dengan tambahan tarif 25%. Ancaman ini memperlihatkan bahwa tarif dagang telah beralih fungsi: dari alat perlindungan ekonomi menjadi senjata politik global.

Trump juga menegaskan bahwa siapa pun yang menentang kebijakannya akan menghadapi tarif lebih tinggi. Pendekatan semacam ini mencerminkan diplomasi gaya lama yang mengandalkan tekanan sepihak, bukan dialog setara.

Oleh karena itu, negara-negara seperti Indonesia harus memahami bahwa permainan perdagangan global kini dipimpin oleh politik intimidatif, bukan prinsip multilateral.

Indonesia Harus Bertindak Strategis

Kini Indonesia tidak bisa lagi bersikap pasif. Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah taktis yang meliputi:

  1. Meninjau ulang seluruh struktur perdagangan bilateral dengan Amerika Serikat.
  2. Memperluas pasar ekspor ke negara-negara yang tidak tunduk pada sistem tarif sepihak.
  3. Menginisiasi koalisi dagang regional dan global berbasis keadilan dan resiprositas.
  4. Mengembangkan jalur diplomasi langsung ke pemimpin-pemimpin berpengaruh.

Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, Indonesia akan terus menjadi sasaran empuk kebijakan sepihak dari negara besar.

Baca Juga
ICC dan Standar Ganda: Mengapa Israel Baru Dikejar Setelah Ribuan Tewas di Gaza?

F-15: Apakah Masih Relevan?

Di tengah serangan tarif ini, publik mempertanyakan rencana pembelian pesawat tempur F-15 dari Amerika Serikat. Mengapa Indonesia harus membeli alutsista dari negara yang dalam waktu bersamaan menghukum kita secara ekonomi?

Kebijakan pembelian tersebut terkesan tidak konsisten. Apabila kita tetap melanjutkan pembelian miliaran dolar, maka kita justru mendanai negara yang menyulitkan ekspor kita.

Sikap tegas diperlukan. Pemerintah sebaiknya meninjau ulang rencana tersebut dan mempertimbangkan sumber alternatif lain. Kedaulatan ekonomi harus sejajar dengan kedaulatan pertahanan.

Refleksi atas Kegagalan Diplomasi

Kegagalan diplomasi 550 triliun bukan semata-mata kesalahan teknis. Ini adalah akibat dari kurangnya akses langsung, lemahnya lobi personal, serta absennya strategi komunikasi yang tajam. Diplomasi modern menuntut lebih dari sekadar dokumen dan proposal.

Indonesia harus belajar dari kasus ini. Kita tidak bisa mengandalkan nilai besar untuk membangun posisi tawar. Sebaliknya, kita harus membangun sistem diplomasi strategis yang menggabungkan kekuatan ekonomi, pengaruh kawasan, dan komunikasi langsung ke pusat kekuasaan.

Saatnya Indonesia Naik Kelas

Kejadian ini menjadi panggilan kebangkitan. Indonesia tidak boleh lagi menjadi objek kebijakan global. Kita harus naik kelas sebagai subjek yang mampu membentuk arah hubungan internasional.

Kekuatan diplomasi Indonesia harus dibangun ulang. Kita perlu mengembangkan jalur negosiasi aktif, memperkuat posisi ASEAN, serta membangun aliansi dengan kekuatan non-Barat seperti BRICS dan Uni Afrika.

Kedaulatan tidak akan datang dari belas kasihan, tetapi dari keberanian dan konsistensi.

Penutup

Tarif 32% yang dikenakan Amerika Serikat kepada Indonesia adalah peringatan keras. Komitmen investasi ratusan triliun rupiah tidak mampu menyelamatkan kita dari tekanan ekonomi global. Trump telah menunjukkan bahwa dunia kini digerakkan oleh kekuatan, bukan keadilan.

Baca Juga
Klarifikasi Tegas: BPR Kerta Raharja Bantah Kredit Macet Rp 90 Miliar Lebih

Jika kita ingin selamat dan bangkit, maka satu-satunya jalan adalah membangun diplomasi mandiri, berani, dan strategis. Kita tidak boleh hanya menjadi penonton. Indonesia harus menjadi pemain utama dalam peta kekuasaan dunia baru.

Related posts

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.